23. Menetap atau Meninggalkan

111 43 1
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.
.
.

"perihal menetap atau meninggalkan, mana yang akan kalian pilih?"

Suatu hari, ketika mereka sedang menongkrong di alun-alun kota untuk menikmati malam Minggu, Ojan menanyakan hal itu kepada Haris dan Juan.

"Klo gue sih di tim meninggalkan, klo Lo Jun?" Haris yang menikmati sebatang rokoknya kini menatap Juan yang juga menikmati sepiring siomay langganan nya.

"Sama" jawab Juan setelah menelan siomay yang ada di mulutnya "gue sih gak mau ya jadi orang bego yang menetap setelah di tinggalkan seseorang"

Ojan tersenyum seraya mengangguk-anggukkan kepalanya. Mendengar kan alasan Juan membuat dirinya maklum, siapa juga yang mau menetap ketika seseorang telah meninggalkan dirinya?

"Klo Lo Jan? Pilih yang mana?" Tanya balik Juan

Saat itu Ojan terdiam sejenak, langit malam menjadi sasaran objek matanya. "Klo Gue sih lebih milih menetap"

"Kenapa?" Tanya Juan sekali lagi "Lo mau jadi orang bego?"

"Gak gitu konsepnya anjing!" Ojan berancang-ancang untuk memukul Juan, namun dengan sigap Haris menghalau tangan Ojan.

"Akur bentar kek, bosen gue liat Lo berdua berantem Mulu" omel Haris

Ojan mendengus, dan tatapan nya kembali memandang langit malam yang mulai sedikit berawan.

"Gue punya alasan kenapa gue milih menetap daripada meninggalkan" kini Juan dan Haris menetap Ojan dengan penasaran. "Orang yang meninggalkan akan menciptakan luka baru untuk seseorang yang menetap. Gue tau rasa sakit nya kehilangan, makanya gue gak pernah mau menjadi pihak yang meninggalkan"

"Emang Lo kuat jadi pihak yang menetap?"

Pertanyaan Haris membuat Ojan menatap mereka satu-persatu seraya tersenyum.

"Insya Allah. Insya Allah gue kuat jadi pihak yang menetap"

Dulu, Ojan mengatakan itu dengan penuh percaya diri. Seakan-akan waktu itu dia siap jika takdir membuat dia menjadi pihak yang menetap, Sampai dia di hadapkan takdir itu dengan nyata. Bunda Juan yang pergi secara tiba-tiba ternyata membuat Ojan tidak kuat menjadi pihak yang menetap seperti yang dia kira.

Kini rumah Juan mulai di penuhi dengan orang-orang yang ingin mengucapkan belasungkawa kepada Juan. Bahkan teman-teman kelas mereka ikut hadir sekedar untuk menghibur Juan.

Dari tempatnya, Ojan melihat Juan yang menangis di pelukan Bibik ART, Haris pun yang berada di sampingnya juga ikut menangis hingga sesenggukan. Berbeda dengan Juan dan Haris, Ojan hanya diam tercengang seraya menatap tubuh bunda yang sudah terbalut kain kafan.

Aneh, pikir Ojan. Padahal dia juga sama terpukul nya seperti Juan dan Haris, Tapi kenapa dia tidak menangis?

Hingga tibalah waktunya bunda Juan di kebumikan. Juan, Ojan, dan Haris ikut andil mengangkat keranda hingga sampai di peristirahatan terakhir beliau. Dan sampai di detik itu juga Ojan masih bingung, kenapa tidak ada air mata yang jatuh dari matanya. Bahkan Ojan sempat menggantikan Juan untuk meng-adzhankan bunda nya karna Juan yang terus menangis dan tak sanggup melanjutkan lantunan adzhan nya.

Setelah proses pemakaman selesai, semuanya kembali pulang ke rumah termasuk mereka bertiga. Rumah Juan terasa sepi, hanya ada mereka bertiga di sana. Foto bunda yang tersenyum kini menjadi objek penglihatan Ojan.

"Kita ini juga perlu nangis loh untuk melampiaskan apa yang kita rasakan, jadi kamu gak perlu malu untuk menangis ya"

Kata-kata bunda waktu itu kembali terngiang dalam pikiran Ojan. Dan tanpa Ojan sadari, dia menghela nafas beratnya.

"Jan, Lo gapapa?"

Ojan menoleh ke arah samping kirinya tepat dimana Juan berada. Mata Juan terlihat bengkak, sehingga membuat Ojan menyunggingkan senyum kecil nya.

"Harusnya itu pertanyaan gue buat Lo, Jun. Lo gapapa?"

"Tapi Lo lebih keliatan gak baik-baik aja Jan? Lo beneran gapapa?"

Ojan terdiam sejenak, tatapan nya kembali menuju ke foto bunda yang tersenyum dengan indah.

"Gak ada yang baik-baik aja setelah kehilangan Jun"  Juan ikut terdiam, bahkan matanya juga menatap foto bingkai bunda sama seperti Ojan

"Dan Lo tau apa yang lebih menyakitkan dari semua ini?" Lanjut Ojan, "Lo sedih tapi Lo gak bisa nangis. Rasanya sesak Jun dada gue. Gue berharap ini cuma mimipi buruk gue dan gue segera bangun dari mimpi ini"

Juan hanya diam sambil menyimak apa yang di ucapkan oleh Ojan. Satu fakta yang baru di ketahui oleh Juan. Bunda nya memberikan pengaruh besar dalam hidup Ojan, dan Ojan sangat amat terpukul atas kepergian bundanya sama seperti dirinya.

"Bunda baik ya, Jan" ucap Juan

Ojan mengangguk setuju, "ya bunda Lo amat sangat baik Jun. Saking baiknya, kadang gue suka iri sama hidup Lo yang punya ibu kayak bunda"

Mereka kembali terdiam dan sibuk dengan pikirannya masing-masing. Hingga Haris yang sejak tadi hanya menyimak percakapan kedua temannya, kini mulai mengeluarkan suara.

"Jan, nangis itu salah satu bentuk pelampiasan, jadi gapapa klo Lo mau nangis" ucap Haris

"Gak bisa res" Ojan menggelengkan kepalanya, "gua berusaha untuk nangis tapi gak bi–"

"Itu karna Lo yang selalu mencoba menahan air mata Lo Jan" potong Haris, "it's okay to cry"

"Anjay Inggris" sahut Juan dari tempatnya

"Kita lagi serius anjir!" emosi Haris

"Tapi klo boleh jujur, Lo gak cocok mode serius sih res" ucap Ojan menimpali

Haris berdecak, "sialan Lo berdua"

Lalu mereka tertawa begitu saja seakan-akan lupa akan kesedihan mereka. Menit berikutnya hening kembali menyapa, namun suara Juan kembali membuat atensi Ojan dan Haris fokus terhadap nya.

"Jan, perasaan kehilangan itu bukan cuma lo doang yang ngerasain, Ada gue juga Ares yang ngerasain hal itu. Jadi Lo jangan merasa sendiri, kita bisa berbagi kesedihan ini sama-sama. Ayo saling menguatkan" ucap Juan

"Bener kata Jujun, ayo saling menguatkan Jan. Lo punya kita untuk berbagi, jadi jangan di pendam sendiri lagi. Gue tau ada banyak yang Lo sembunyikan dari kita. Tapi tenang aja, kita gak akan maksa Lo cerita sebelum Lo sendiri yang mau berbagi duluan ke kita" timpal Haris

Ojan terdiam beberapa menit sebelum mengangguk kan kepalanya dan tersenyum. Namun ketakutan kembali menghampirinya, haruskah dia bercerita semuanya kepada mereka? Apakah tidak apa-apa?

.
.
.
.
.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
J A U Z A N  [Park Jeongwoo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang