18. Ketenangan di Kampung

955 98 8
                                    


Dua hari di Pariaman Bumi lalui tanpa beban. Semua dilakukannya dengan hati yang ringan. Ia bebas untuk bangun jam berapapun. Makanan yang selalu tersedia. Suasana asri dan damai. Hp nya juga terasa tenang tanpa notif yang mengganggu.

Begitulah kalau jabatan sudah sedikit lebih tinggi. Dulu saat jadi cungpret, boro-boro Bumi bisa meninggalkan hp nya selama lima menit. Ia harus selalu memastikan tak ada pesan dari senior yang tak boleh menunggu. Saat mulai memiliki bawahan, ia masih harus memastikan bahwa junior-juniornya bekerja dengan benar.

Setelah shalat subuh tadi, Bumi kembali tidur. Udara di kampungnya sungguh sejuk hingga ia tak kuasa menahan godaan untuk kembali tidur di kamarnya yang tenang. Walau kata Bunda lelaki pariaman sejati tak memiliki kamar, namun nyatanya sejak dulu kamar paling belakang ini hanya ditempati olehnya. Bunda juga selalu memastikan kamar ini nyaman dan bersih walau Bumi jarang pulang.

Setelah merasa cukup tidur, Bumi pun berjalan ke arah dapur. Disana ia menemukan Bunda yang sedang membuat sesuatu bersama asisten rumah tangga dan Zafran yang sedang fokus membaca. Bumi mengintip, ternyata jurnal kedokteran dengan tulisan kecil yang terlihat rumit.

Ia menghampiri Bunda dan memberi kecupan di pipi. "Morning, cantik." Dan tentu saja Bumi langsung menghindari cubitan dari Bunda.

"Amboi, morning apo, iko lah siang, Bumiii." (Pagi apaan, udah siang ini Bumiii)

Bumi hanya cengengesan. Lalu berjalan ke meja makan, membuka tudung saji yang berisi lontong untuk sarapan pagi. Tak lupa ada sala pariaman yang langsung ia comot.

"Baca terus. Makin nambah minus lo nanti."

Zafran berdecak karena Bumi menjumput rambutnya. Sepertinya Zafran perlu mengingatkan bahwa ia bukan lagi bocah kecil yang bisa ditindas seenaknya seperti dulu.

"Dibanding perilaku lo yang minus."

Bumi yang sedang mengunyah sala garing pun tertawa. "Adhi Makayasa itu artinya sempurna dalam perbuatan, perkataan, dan pikiran."

Zafran memberi tatapan -apa gue peduli?- pada Bumi. Lagipula, sampai sekarang Zafran masih tak percaya abang sepupunya mendapat predikat itu jika melihat kelakukannya setiap hari.

"Kok rumah sepi banget. Pada kemana Bun?"

"Ke Malintang," jawab Bunda. 

Bumi berdecak. "Ah kok aku ditinggal."

Malintang itu kampung papi. Sejak kemarin papi memang tinggal di Malintang, karena ada urusan terkait pusako tinggi di Malintang. Yang Bumi tak tahu, bahwa Bintang sekeluarga juga menyusul ke Malintang tanpa mengajaknya. 

"Lagian lama banget bangunnya," kata Bunda yang kali ini meletakkan pisang goreng dan ketan kehadapan Bumi.

Setelah menggoda Bunda karena menghindangkan sarapan, Bumi pun menoleh pada adik sepupunya. "Susulin yuk."

Zafran menggeleng. "Males ah."

"Jangan kebanyakan baca lah, botak lo nanti. Ayo kek temenin."

Walau tahu papi akan kemari juga karena besok 1000 hari Angku, namun rasanya aneh berada disini tanpa suara berisik si kembar.

Bumi pun mengadu pada Bunda. "Bun, si dedek engga mau nemenin nih. Nanti kalo aku ilang gimana?"

Zafran memukul lengan Bumi dengan jurnal yang tadi ia baca. Pertama, karena ia kesal masih dipanggil dedek. Damn, umurnya sudah 25 sekarang. Jangan sebut panggilan menggelikan itu lagi. Kedua, abang sepupunya takkan hilang jika hanya pergi ke Malintang sendirian, karena jaraknya tak begitu jauh.

BumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang