🚥Saat hari menjelang sore, Bumi dan Zafran kembali ke rumah, mengingat mereka harus membantu untuk pengajian malam nanti. Bunda sudah mewanti-wanti mereka untuk pulang sebelum magrib, karena tenaga mereka dibutuhkan terutama untuk mengangkat kursi dan menyusun di halaman.
Mereka tak bisa dan tak berani mengeluh. Titah sang ratu adalah mutlak. Jadi dibanding kena damprat, mereka buru-buru pulang saat waktu menunjukkan pukul setengah lima sore.
Kali ini perjalanan pulang bertambah satu personil, yaitu Berlyyn. Bocah itu merengek ingin pulang dengan motor, dibanding naik mobil bersama orang tuanya. Bintang tentu saja menolak keinginan Berlyyn, katanya hanya akan merepotkan Bunda dan semua orang untuk persiapan pengajian nanti. Tapi Bumi tak masalah. Toh selama ini belum ada yang pernah terganggu dengan kehadiran Berlyyn.
Namun ada lagi masalah lain, papi tak mengizinkan Berlyyn pulang tanpa helm. Sayangnya, tak ada helm untuk anak kecil di kampung papi. Jadi mereka harus membeli helm di pasar, lalu kembali lagi ke rumah papi. Merepotkan, namun demi kebaikan sang tuan putri, Bumi dan Zafran tak bisa berbuat banyak.
Bumi tak lupa juga menawarkan agar Byat ikut pulang bersamanya, namun Bumi malah kena damprat Bintang karena ngeri membayangkan satu motor bonceng empat. Bumi berdecak, lebay sekali pikiran adiknya. Bumi cukup waras membawa motor dengan pelan. Pun kalau berempat, keduanya hanyalah anak kecil yang tinggi badan belum sampai setengah tinggi Bumi.
Tapi Byat menolak dengan sinar kebahagiaan terselubung di mata, sepertinya senang jika bisa terpisah beberapa jam dari kembarannya yang bawel. Bumi tak bisa berbuat banyak, karena ia pernah merasakan hal itu. Kadang menyenangkan jika tak mendengar suara berisik Bintang. Yah walau setelahnya ia akan uring-uringan sendiri kalau lama tak bertemu.
Sejak duduk di atas motor, si princess bawel ini tak berhenti berbicara. Bumi mendengar Zafran dengan sabar menjawab semua pertanyaan Berlyyn, padahal tadi saat mereka berangkat berdua, boro-boro Zafran mau bicara. Ditanya saja, hanya menjawab satu dua kata.
Mungkin memang benar kalau saudara perempuan di keluarga mereka ini memiliki jimat ajaib. Buktinya, mengapa perkataan Bintang dan Berlyyn selalu dituruti dengan ikhlas oleh mereka semua tanpa kecuali? Padahal kedua manusia itu tak jarang bertingkah menyebalkan.
Mungkin sekarang Bintang tak lagi banyak mengganggunya karena mereka jarang bertemu, tapi Byat? Bumi cukup bersimpati pada satu ponakannya itu yang hampir 24/7 bersama kembaran sekaligus ibunya yang ceriwis.
Dulu Bumi pernah bertanya pada Da'Bhaga, mengapa nekat menghabiskan waktu bersama Bintang yang berkemungkinan membuat kloningan sama persis. Da'Bhaga hanya bilang, namanya juga nyaman. Hal paling mahal di dunia ini adalah kenyamanan. Orang-orang rela membayar lebih untuk upgrade kelas di pesawat demi kenyamanan. Orang-orang rela memesan ruangan VVIP demi kenyamanan. Hal itu membuat Bumi banyak berpikir. Ia setia pada satu merek sepatu lari karena nyaman. Begitupula pada benda-bendanya yang lain. Ia bisa bertahan berteman dengan Geng L-Men yang aneh itu karena ia merasa nyaman. Yah walau Megandita yang berisik itu bisa menjadi pengecualian.
Tentu saja ia tak bisa selalu memilih kenyamanan dalam hidup. Salah satunya saat menjadi tentara sekaligus penerbang. Jika bisa dibilang, menjadi tentara dan penerbang berarti melepas hidup nyamannya. Ia bisa saja memilih sekolah umum, lulus, membangun bisnis menggunakan uang papi, dan hidup seperti orang kebanyakan. Ia tak harus pulang malam setiap hari, menghabiskan lebih banyak waktu di kantor padahal tidak pernah dibayar lembur sepeserpun.
Atau ia bisa saja memilih korps di tentara yang memiliki lebih banyak waktu senggang, dibanding menjadi penerbang yang super sibuk. Atau ia bisa saja meminta penempatan di daerah lain yang lebih senggang, dibandingkan di Jakarta dimana tamu VVIP selalu lalu lalang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumi
RomanceTerbiasa hidup dalam tempo cepat, membuat Bumi banyak berpikir dalam perjalanan bis Jakarta-Padang yang memakan waktu lebih dari 40 jam, mulai dari rezeki, jodoh, sampai kematian. Selama 31 tahun eksistensinya di dunia, Bumi tak pernah berpikir seda...