3. Di atas Kapal

447 66 1
                                    

🛳

Mata bulat itu mengerjap karena mendengar nada ketus Bumi.

"Om?"

"Emangnya saya setua itu?"

Kaki perempuan itu bergerak gelisah. "Trus aku harus panggil apa?"

"Bumi."

"Bumi?"

Bumi menyerahkan selendang lembut itu ke tangan pemiliknya. "Nama saya Bumi."

Karena kencangnya angin laut di sore hari, Bumi tak mendengar gumam yang dikatakan bocah ini, tapi dari bibirnya yang tipis, Bumi menerjemahkan sebagai pamberang.

"Makasih, Om Bumi."

Dahi Bumi mengernyit, yang membuat perempuan itu tiba-tiba tertawa. Bumi jadi berpikir mungkin saja perempuan ini sinting. Di bus tadi, perempuan ini terlihat sendu habis menangis. Sekarang malah tertawa terbahak seakan ada hal yang lucu. Dan lihat, rambut biru elektriknya. Mana ada manusia normal yang mengecat rambut dengan warna eksentrik?

Lalu perhatian Bumi beralih ke pahanya yang terasa dipegang seseorang. Bumi terkejut menemukan satu lagi bocah yang tadi ditolongnya saat ingin menaiki tangga kapal.

Bumi berjongkok biar setara dengan bocah manis bernama Cindy. "Cindy mau kemana?"

"Mau pipis, tapi Ibu lagi mimik Adek."

Melihat Cindy, Bumi jadi mengingat Berlyyn. Keponakannya yang bawel seperti Bintang.

Untuk ukuran anak kecil, Cindy terhitung pemberani ke toilet sendiri. Tapi sebagai orang dewasa, Bumi menyayangkan tindakan ibu Cindy yang membiarkan anak kecil ke toilet sendirian.

"Bisa sendiri?"

"Bisa."

Sekilas, Bumi melihat ketidakyakinan dari mata Cindy. Bumi melirik perempuan lain yang ada di sebelahnya. Seharusnya Cindy akan merasa lebih nyaman jika ditemani manusia yang berjenis kelamin sama.

"Bisa tolongin dia?"

Bumi bisa saja menemani Cindy. Ia cukup terbiasa mengurus Berlyyn sejak kecil. Tapi semenjak masuk Montessori, Berlyyn sudah menolak ditemani Bumi, walau hanya ke depan toilet. Katanya privasi. Bumi terperangah, antara kagum dengan kecerdasan Berlyyn dan sedikit merasa sedih karena ponakannya sudah beranjak besar.

Ternyata curhatan Da'Bhaga dirasakannya juga. Bagaimana seorang ayah bisa merasa kehilangan yang besar saat tak lagi dibutuhkan oleh anak perempuannya, bahkan untuk sekadar hal kecil.

"Bisa. Cindy mau Kakak temenin?"

Seperti meminta persetujuan pada Bumi, Cindy menatapnya lebih dulu. Bumi menyeringai, bahkan bocah sekecil Cindy saja juga merasa agak takut dengan perempuan berambut biru elektrik ini.

Bumi mengangguk dan menjawab tidak apa-apa. Jadi mereka bertiga berjalan ke arah toilet. Bumi berjaga di depan toilet, sedangkan Cindy dan perempuan itu masuk kedalam.

Tak berapa lama, kedua perempuan itu keluar dengan wajah basah sambil tertawa. Sepertinya habis cuci muka.

"Makasih, Kak Sunny."

Tanpa sengaja, Bumi jadi mengetahui nama perempuan itu.

"Ibu duduk dimana, Cin?" tanya Bumi.

Cindy mengarahkan mereka ke tempat ibunya di dalam kapal.

"Wc nya aneh ya Kak, masa goyang-goyang."

Sunny mengangguk. "Karena kita di atas kapal yang lagi berlayar, Cin. Kalau kapalnya diam, goyangnya engga separah itu kok."

BumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang