17. Ke Pariaman

704 96 4
                                    


Di halaman rumah paling pojok di komplek Lumier, terlihat beberapa orang yang berbagi tugas. Ada yang berjaga di depan pembakaran, ada yang menyusun daging yang telah matang ke meja, dan ada pula yang hanya tahu makan. Untuk yang terakhir, orang itu bernama Bumi Prawira Tahir.

Entah sudah berapa banyak daging dan sosis yang Bumi makan, ia tak tahu. Yang pasti, lambung bagian atasnya sudah mulai terisi. Masih ada sisi kiri, kanan, dan bawah lambungnya yang belum terisi. Ia masih bisa menyusun beberapa makanan yang terus dikeluarkan oleh asisten rumah tangga adiknya untuk kemudian dipindahkan ke lambungnya.

Bintang hanya bisa geleng kepala. Sepertinya jika hanya mengandalkan gaji sebagai aparat, Bintang berpikir bahwa gaji Jo Bumi hanya akan habis untuk membeli makan, karena porsinya di luar manusia normal.

"Om Omar, Om Patria makan juga. Jangan bakar terus," kata Bintang mengingatkan ajudan papi.

"Siap, Bu."

Karena sedang hamil tua dan paham bahwa zat karsinogenik tidaklah baik untuk ibu hamil, Bintang hanya bisa menikmati jagung susu keju dengan pasrah. Namun begitu, jauh di dalam hati, ia sangat senang mereka semua bisa berkumpul.

Bintang mengamati papi yang berbincang dengan menantu dan kedua cucunya, sambil sesekali mencuri kesempatan makan daging panggang. Ah, sudahlah. Biarkan pak tua itu menikmati makanan enak di liburan kali ini, karena saat bekerja, papi agak susah makan. Walau nanti Bintang tahu, papi akan mengeluh pusing karena kolestrolnya naik. Yah, biarlah.

"Marinasinya pake apa, Bii?"

"Knorr, yang kemarin aku titip Ajo pas di Austria"

Bumi kembali mengambil sosis yang baru matang, berpikir sebentar, lalu mengangguk. "Oh, pantes enak. Mahal."

Bumi melihat adiknya tertawa. Kemarin saat ia dan beberapa penerbang AU diutus ke Austria untuk latihan bersama pengisian bahan bakar di udara, adiknya menelfon bukan untuk menanyakan kabar atau yang lain, melainkan untuk menitip saus.

Di sela-sela latihan mengisi pesawat tempur dengan advanced refuelling boom system agar pesawat dapat melintasi jarak yang lebih jauh dan tetap berada di dalam area pertempuran lebih lama tanpa perlu mendarat, Bumi mengelilingi supermarket di dekat camp yang menyediakan barang titipan adiknya.

Ternyata tak sia-sia perjuangannya. Kalau tahu seenak ini daging hasil marinasi saus Knorr, Bumi seharusnya membeli banyak. Daging wagyu yang dimakannya menjadi berkali lipat lebih enak.

Piring di meja kembali terisi. Kali ini sepiring scallop yang menguarkan aroma gurih. Bumi melirik adiknya yang menampilkan raut mupeng. "Mau?"

Bintang kembali melirik saladnya yang kurang menarik dan membandingkannya dengan scallop panggang di piring. Jelas amat berbeda. 

Tanpa menunggu jawaban, Bumi mencongkel scallop dan menyuapkan untuk adiknya. Ia yakin, hamil adalah anugerah dan bukan hukuman untuk seorang wanita. Menyenangkan ibu hamil juga akan menyenangkan janin di kandungan, itu yang Bumi dengar. Jadi jika Bintang bisa menikmati scallop panggang ini, pasti calon ponakannya juga senang, dan tidak akan memandangnya sebagai ancaman.

"Tadi Ajo coba udah mateng kok scallopnya, engga gosong juga," kata Bumi karena melihat adiknya masih ragu-ragu. 

"Beneran?"

"Beneran, princess."

Setelah itu, adiknya baru menerima suapan dari Bumi. Ia melihat adiknya mengunyah daging lembut scallop dengan sangat menghayati.

"Enak, kan?" Bumi melihat adiknya mengangguk. "Pinter Da'Bhaga milih yang masih seger." Jujur saja, walau nampak nerd, adik iparnya itu memiliki keahlian tertentu yang membuat Bumi kagum. Contohnya saja, Da'Bhaga ahli dalam memilih hasil laut yang segar. Sampai sekarang, Bumi berpikir bahwa itu keahlian langka. 

BumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang