Aku berlari tergesa-gesa menerobos lalu lalang manusia menuju salah satu fakultas di kampusku. Mahasiswa dari fakultas seni membuat bioskop mini yang kukejar dengan sangat bersemangat karena menonton adalah hobi yang paling kucintai. Begitu sampai didepan ruangan, aku membayar sejumlah uang untuk tiket menonton dan dilayani dengan ramah. Panitia mengatakan kalau uang penjualan tiket sebagian digunakan untuk penggalangan dana korban bencana alam, cukup mulia.
Lalu masuklah aku ke ruangan kelas yang dibuat sedemikian rupa untuk menonton, membentuk bioskop kecil yang cukup nyaman. Terlihat poster manual dari cat air yang menggambarkan lukisan wanita sedang dibunuh penuh darah tergelatak di lantai. Sesuai dengan film horror misteri buatan mahasiswa yang sedang kutonton sekarang.
"Kok sepi" cibirku sambil duduk di kursi paling strategis. Kursi kayu itu sebenarnya kekecilan, tapi nyaman karena ada sandarannya. Untung layar yang digunakan tidak begitu besar dan tinggi sehingga dimanapun aku duduk isi layar akan terlihat jelas. Ada sekitar 20 kursi dan semuanya kosong, mungkin karena ini adalah pemutaran terakhir.
"Maklum, tidak banyak anak muda yang suka menonton" seorang pria datang dan duduk disampingku "Mereka berpikir, bioskop hanya untuk orang kaya dan film hanya untuk pemimpi" Pria itu berambut panjang yang dia ikat kebelakang dengan karet, menggunakan kaos kuning pudar dengan kemeja flanel biru tidak terkancing. Perlu kalian tahu, di tahun ini pria dengan rambut sepanjang itu bukanlah hal lumrah. Sayangnya dia jauh dari kata feminim, dia tampan, terlihat tegas walau sedikit berantakan.
Aku hanya tersenyum dan membiarkan dia duduk dikursi sebelahku walaupun ada belasan kursi kosong lain di ruangan ini. Proyektor yang memancarkan cahaya memantul ke layar di dinding dan membuatku merasa senang. Ruangan benar-benar sepi, hanya ada aku dan pria disebelahku tadi. Hanya ada proyektor yang menampilkan adegan, kipas angin kecil agar tidak kegerahan, dan alat pengeras suara yang cukup kencang suaranya walau sedikit sember.
Film dimulai, tertulis itu adalah film indipenden buatan anak-anak fakultas seni. Bercerita tentang pembunuhan di kampus dan bagiku awal film cukup seru. Sepanjang film aku dibuat terkejut, takut, dan senang. Aku fokus ke cerita, akting dan pengambilan gambarnya. Sederhana tapi terasa sangat niat, walau sangat jauh dari kualitas film luar negeri. Tapi tetap bisa kunikmati.
Masalahnya adalah pria di sebelahku hanya menatap kearahku sepanjang film berjalan. Kepalanya tidak melihat ke layar sedetikpun, tapi melihat wajahku dengan tajam. Sedikit kulirik, dia tersenyum dan mengedipkan mata dengan pelan. Tangannya menopang dagu dan kelihatan fokus, fokus ke aku, bukan ke film yang ditayangkan. Aku jadi bingung, manakah yang lebih seram, pembunuh di film ini atau pria disebelahku sekarang.
Mata nya berbinar, hidungnya mancung, bibirnya tersenyum tipis, dan bulu halus di dagunya membuat dia terlihat dewasa walaupun aku rasa kita seumuran. Aku meliriknya sebentar dan benar saja dia sama sekali tidak mengalihkan pandangan. Aku mengangguk sopan lalu lanjut menonton dengan fokus.
Film sudah hampir habis dan dia menggeser kursi mendekatiku. Walau aku ingin fokus ke film yang disajikan, pria ini tetap fokus ke wajahku, semakin dekat - semakin tajam matanya. Sialan, hidungnya hanya sejengkal dari telingaku bahkan bisa kudengar nafasnya, dia kenapa sih?
Aku lirik dia lagi dan berkata "Ini filmnya seru ya" dengan harapan dia fokus ke layar.
"Jangan alihkan matamu, sebentar lagi adegan terbaiknya dimulai" jawabnya dan memegang daguku lalu mengarahkan mukaku kembali ke layar. Bisa-bisanya.
Aku melihat kembali ke layar dan saat itu adalah adegan pengungkapan sosok pembunuhnya. Benar-benar mengejutkan, pembunuhnya ternyata dosen yang mati diawal film. Benar-benar seru, brutal, dan aku bertepuk tangan sampai bersorak "Wooow"
Pria itu tersenyum lebar lalu mengalihkan wajahnya untuk menutupi senyumnya dengan tangan. Itu pertama kali matanya lepas dariku selama hampir 70 menitan. Melihatku takjub dengan film yang diputar dia terlihat juga takjub.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ikan Ajaib dan Danau Tora ( Umber )
RomanceBL17+ Ini terjadi 30 tahun yang lalu. Awal 1990an saat Neyma, seorang pria pencinta film bertemu dengan 3 pria. Tora si pembuat film, Freddy si bule tampan, dan Bram pria kaya pemilik bioskop. Di tahun ini tidak mudah bagi Neyma, mencintai pria lain...