13. Kenapa aku harus mati

113 11 0
                                    


"Anak ibu punya banyak masalah kesehatan"

Itu adalah kata-kata yang selalu dokter satu dan lain sebut kepada ibuku. Pernikahan muda kedua orang tuaku ternyata tidak seperti bayangan mereka. Uang berlimpah tidak sebanding dengan seberapa paham mereka mengenai cara mengurus anak. Sebenarnya tidak bisa kusalahkan mereka karena mereka baru pertama kali menjadi orang tua, tapi kondisiku yang semakin buruk tiap usia ku bertambah membuatku meragukan upaya mereka untuk membuatku tetap hidup di dunia ini.

Aku tidak yakin aku mendapat cukup perawatan saat bayi. Makanan yang disediakan saat ku balita pun kebanyakan instan, sirkulasi rumah yang tidak baik, bahkan jam tidurku sangat rusak untuk anak seumuranku. Tidak heran badanku seperti kayu rapuh yang sudah berjamur dari dalam. Bila aku jatuh saat bermain sulit untukku berdiri, terkena hujan aku flu, terkena panas aku pingsan, kalau terluka sampai berdarah sakitnya lebih sakit dari manusia normal hingga aku bahkan tidak bisa tidur karenanya, semuanya membuatku terbiasa bertemu banyak dokter dan menenggak banyak obat.

Sampai saat ini dokter tidak pernah tahu jenis sakitku apa, satu dokter dan yang lain punya jawaban berbeda. Mereka memberi diagnosis berbeda, penanganan yang berbeda, dan obat yang berbeda juga. Seolah badanku adalah sumber penyakit yang terus berinovasi semakin lama ku hidup semakin banyak penyakit yang muncul. 

Diluar kemalangan itu setidaknya ayah dan ibuku menyayangiku. Setidaknya mereka tidak menyerah dan tidak menganggapku beban. Walaupun seminggu sekali aku akan mimisan, meminta di jemput di sekolah, dan benar-benar menyusahkan. Mereka memang tidak bisa membuatku tetap sehat ataupun sembuh, tapi setidaknya mereka berusaha membuaku tetap hidup.  Banyak yang yang mereka keluarkan, tapi tidak kupungkiri rezeki juga terus datang. Ayahku adalah politisi yang baik dan bersih, ibuku juga pengusaha yang cukup sukses.

Aku sangat dekat dengan ayahku. Dia yang memperkenalkanku dengan jembatan dan Mama Rara. Warga kolong jembatan juga dekat dengan ayahku karena ayahku sangat baik kepada mereka. Walaupun saat itu aku sakit-sakitan, setidaknya kehadiran ayahku membuatku berjuang untuk tidak menyerah. Sayangnya ayahku meninggal saat aku SMP karena kecelakaan sepulang kerja. Dia dikubur dan seolah-olah hilang begitu saja. Banyak yang percaya kematiannya dirancang oleh rekan bisnisnya tapi tidak pernah ada yang perduli, tidak pernah ada yang mengungkit seolah-olah ayahku dihapus saja dari dunia ini.

Saat aku masuk SMA ibuku menikah lagi dan suami barunya tidak pernah menganggapku sebagai anak. Dia meganggap aku hanyalah manusia beban yang menghabisi uang untuk obat-obatan. Aku hanyalah anak yang menyusahi ibuku dan orang-orang dirumah besarnya. Karena itu aku keluar dari rumah, tinggal di kost murah dan jarang memakai uang dari ayah tiriku itu. Kalaupun uang darinya ada banyak, ku pakai untuk memajukan wilayah kolong jembatan, membuka usaha warga disana, dan membelikan anak-anak mainan.

Memasuki usiaku 17, aku bertemu Dokter Herman. Dia datang ke sekolah saat penyuluhan sex dan setelah itu aku menghubunginya. Di luar dari sakit lain yang kumiliki, Dokter Herman menjadi dokter pribadi yang berfokus kepada kesehatan reproduksiku. Aku sendiri yang memilihnya karena dengannya aku merasa aman. Aku rasa aku perlu mengecek reproduksiku, apakah aku sehat? apakah aku mandul? apakah aku punya penyakit menular seksual? dengan adanya Dokter Herman, setidaknya kehidupan romantis ku akan terjamin bila aku ingin menjadi ayah saat ku menikah nanti.

Memasuki perkuliahan aku masuk jurusan seni dan berfokus di pembuatan film karena aku tahu hidupku tidak akan lama. Kalaupun aku mati nanti, aku ingin punya film yang bisa di kenang, atau setidaknya naskah yang bisa dibaca kalau seandainya mimpiku membuat film tidak kesapaian. Aku juga mulai mendapatkan obat-obatan luar negeri yang harus kuminum seminggu sekali agar aku tidak terlihat sakit-sakitan. Ibuku membayar obat itu, dengan biaya yang sebutirnya cukup untuk makan 1 minggu dan dalam seminggu harus kumakan 5 butir. Tapi obat itu membuatku bisa hidup normal walaupun tidak maksimal.


Di semester kedua aku bertemu Neyma, pria yang mencintai filmku..


Ikan Ajaib dan Danau Tora ( Umber )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang