7. Pria bermata biru

143 13 0
                                    

Aku duduk di atas sebuah kursi besi luar bandara, menatap jalanan sambil menggunakan telepon genggam ku yang nomor teleponnya baru kuganti menjadi nomor Indonesia. Banyak warga lokal melihatku dengan aneh seakan mereka tidak pernah bertemu pria tinggi pirang bermata biru sebelumnya. Mata mereka membuatku merasa tidak nyaman walaupun aku tidak masalah menjadi pusat perhatian. 

Aku berusaha menelpon ayah tapi tidak ada jawaban dari nomornya, kucoba bolak-balik mencari nomor telepon lain di buku catatan kecil yang kubawa, tapi semua nomor ayahku tidak menjawab. Ku kira dia sudah mengatur penjemputanku dengan matang, ternyata aku harus menunggu lama begini. Matahari Asia terasa lebih panas, kulitku mulai memerah dan beberapa kali taxi mendekat untuk menawari tumpangan.

[Note : Dialog Miring menggunakan bahasa inggris]

"Selamat Sore" Seorang pria berkemeja putih dan jas hitam rapi mendekatiku, dia memegang kertas bertuliskan Freddy Feortuna, namaku yang diberikan ayah.

"Sore, kalian dikirim ayahku untuk menjemput?" tanyaku sambil berdiri, memasang wajah kesal tapi juga lega. Siapa yang tidak kesal harus menunggu hampir 2 jam dan dilihat seperti Alien.

"Ya,  Maafkan keterlambatan kami, kami harus mereparasi mobilmu terlebih dulu. Perkenalkan namaku Harry, anak ini Neyma salah satu mahasiswa terbaikku. Aku dosen yang mengajar di kampus ayahmu sekaligus salah satu orang kepercayaannya,  dan Neyma akan menjadi temanmu selama disini" Pria berjas itu memperkenalkan pria lokal yang berdiri di belakangnya.

Si Neyma itu lebih pendek, kurus dan canggung, wajahnya kelihatan seperti boneka keramik tua yang berdebu, menggemaskan tapi kusam. Dia terlihat malu-malu bersembunyi di balik Harry si dosen tapi memberanikan diri untuk mendekat. Neyma tersenyum tidak tulus ke arahku lalu mengambil koperku di lantai.

"Biar kubantu" Dia dan tubuh kurusnya? aku yakin dia tidak akan kuat. Tangannya bahkan sangat kurus, sekali tendang tangan itu akan remuk.

Si Neyma itu kesusahan membawa koperku yang berat, dia berusaha sampai mengejan, wajahnya merah, urat-urat tangannya menonjol , tapi koper 40 kilo ku tidak bergerak. Cih lemah sekali.

Ku ambil alih koper itu dan kuberikan dia ranselku yang lebih ringan. Kami bertiga menuju parkiran dan berkendara menuju rumahku melewati jalanan kota. Sepanjang jalan aku melihat keluar jendela mobil, merasa rindu dengan suasana Belanda bersama ibuku, tapi aku harus terbiasa disini. Di kota antah berantah ini.

Pria disebelahku kelihatan penasaran, matanya melirik teleponku dan kelihatan panik saat kutanya "Kalian tidak punya telepon genggam disini?"

"Tidak semua orang punya, kami masih terbiasa menggunakan telepon rumah" jawab anak itu dengan bahasa inggris yang cukup baik.

"Aku tidak bermaksud untuk banyak tanya, tapi lebih baik kita saling kenal kan? apa benar kau lahirnya di inggris Fred?" tanya Mr. Harry.

"Dulu ibuku liburan ke Indonesia, bertemu ayah, lalu mereka menikah. Aku lahir disini, aku pindah ke Belanda di umur 4 tahun, sempat di Inggris dari umur 10 sampai 12 lalu kembali ke Belanda sampai lulus sekarang" jawabku.

"Oh begitu?"

"Kenapa bapak ibunya pisah negara pak?" tanya si Neyma dalam bahasa Indonesia.

"Gak tahu tu, mungkin keluarganya kurang harmonis" jawab Mr.Harry


//


Aku masuk ke rumah Ayah yang kelihatan sangat besar. Tidak seperti rumah mewah orang kaya biasa yang besar dan tinggi. Rumah ini luas dan dipenuhi bangunan-bangunan dengan desain pedesaan. Lebih terasa seperti penginapan tepi pantai dibanding rumah seorang rektor universitas. Tanahnya luas, dikelilingi pagar tinggi, dan didalamnya terdapat puluhan rumah kecil yang terhubung dengan jalanan batu buatan..

Ikan Ajaib dan Danau Tora ( Umber )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang