🌹31

58.8K 2.1K 59
                                    

Happy Reading!

Mawar terdiam menatap pintu ruang kerja tuan Revan. Ia masih ragu untuk meminta tolong tapi hanya ini cara satu-satunya. Mawar ingin setelah Arga pulih, adiknya itu bisa kembali sekolah. Bahkan jika bisa bukan hanya lulus sekolah tapi juga kuliah.

Ceklek

Bukan Mawar yang membuka pintu melainkan seseorang yang ada di dalam sana.

"Ada apa?" tanya Revan bingung saat melihat istrinya berdiri di depan pintu ruang kerjanya.

"Anu_itu__."

"Apa?" Desak Revan.

"Itu mas__anu__"

"ck!" Decak Revan lalu dengan segera menggendong tubuh Mawar menuju kamar mereka.

"Mas_" Cicit Mawar pelan membuat Revan berdehem.

"Perlu sesuatu?" tanya Revan setelah menurunkan tubuh Mawar di atas kasur.

Mawar mengangguk pelan.

"Apa?" tanya Revan lembut.

Mawar menunduk lalu menggeleng pelan. "Tidak jadi_"

"Hahh" Revan menghela napas lalu berbaring di samping istrinya.

"Mawar, apa kau ingat apa yang aku katakan kemarin?" tanya Revan membuat Mawar diam.

"Jangan sungkan untuk meminta apapun padaku, karena aku adalah suamimu." ucap Revan mengulang perkataannya kemarin setelah memanjat mohon mangga.

Mawar mengerjap. Itu benar tapi permintaannya kali ini bukan karena mengidam.

"Arga__"

"Arga? Ah karena kau menyebut adikmu aku jadi mengingat sesuatu." potong Revan membuat Mawar yang ingin menyampaikan keinginannya kembali terdiam.

"Aku sudah mendaftarkan Arga untuk kembali sekolah." ucap Revan membuat Mawar melotot.

"Mas mendaftarkan Arga sekolah?" tanya Mawar yang masih tidak percaya.

Revan mengangguk. "Maaf karena mengambil keputusan tanpa bertanya padamu lebih dulu." ucap Revan membuat Mawar menggeleng.

"Terima kasih." Ucap Mawar tulus membuat Revan menatap istrinya.

"Tidak perlu berterima kasih, aku melakukan itu untuk diriku sendiri." ucap Revan serius membuat Mawar mengernyit. Apa hubungannya?

Revan tersenyum lembut, senyum yang sangat jarang atau bahkan tidak pernah Mawar lihat. "Karena aku ingin istriku hanya fokus dengan suaminya dan anak kami." ucap Revan lalu menarik tubuh Mawar ke dalam pelukannya. "Aku akan mengurus keluargamu jadi sekarang kau hanya boleh memikirkanku dan calon anak kita." bisik Revan lalu tersenyum tipis sedang Mawar hanya diam dengan detak jantung yang menggila.

'Apa ini?' batin Mawar panik. Jantungnya sering berdetak secepat ini tapi kali ini berbeda. Jika sebelumnya ia merasa takut tapi sekarang ada rasa bahagia.

Mawar mengatur napasnya lalu menggerakkan tangannya membalas pelukan tuan Revan.

'Nyaman.' Batin Mawar yang baru pertama kali merasa senyaman ini.

Sedang di tempat lain, tepatnya disebuah kamar dengan kasur yang berantakan.

"Kau harus melakukan sesuatu, Mey. Bukan aku saja tapi beberapa teman kita yang bekerja di perusahaan Revan juga di pecat tanpa sebab." ucap Livia membuat Meysa diam. Ia tidak mau peduli dengan teman-temannya yang dipecat. Lagipula saat ia meminta tolong mereka semua malah menghindar.

"Mereka pantas mendapatkannya." Ucap Meysa datar lalu beranjak dari tempat tidur. Ia baru saja melayani om Burhan hingga tubuhnya masih merasa lemas.

"Bagaimana bisa kau mengatakan itu, Mey. Bahkan aku sudah merelakan diriku untuk memberi jalang kecil itu pelajaran." ucap Livia membuat langkah Meysa yang ingin ke kamar mandi terhenti.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Meysa.

"Aku menghina jalang itu di mall dan disaksikan oleh banyak orang." ucap Livia membuat Meysa terkekeh. Sekarang ia tahu kenapa Revan memecat semua teman-temannya.

"Revan memang sedang tergila-gila dengan jalang itu. Memecat kalian semua bahkan masih termasuk hukuman kecil."Ucap Meysa tenang lalu melanjutkan langkahnya memasuki kamar mandi.

Livia menghela napas kasar lalu duduk di sofa. Ia akan menunggu Meysa.

"Kau masih di sini?" tanya Meysa saat melihat sahabatnya duduk di sofa.

"Aku membutuhkan uang." ucap Livia membuat Meysa menyerngit.

"Lalu?" tanya Meysa sembari mengeringkan rambutnya.

"Ayolah Mey, kau adalah sahabatku yang paling peka. Kau tahu aku ingin meminta uang." ucap Livia membuat Meysa mendengus.

"Kau dan wanita tua itu sama saja." ucap Meysa datar. Wanita tua yang dimaksud adalah ibunya sendiri, Eva.

"Pergilah!" Usir Meysa membuat Livia melotot.

"Kau membiarkanku pergi dengan tangan kosong?" bentak Livia.

"Lantas apa yang harus aku lakukan? Aku juga tidak punya uang. Karir modelku hancur dan sekarang aku harus melayani om-om berperut buncit untuk sedikit uang." balas Meysa dengan suara tinggi.

"Ck! Itu salahmu karena melepas pria sekaya Revan." Decak Livia membuat Meysa mendengus.

"Terserah. Tapi jika kau memang butuh uang sebaiknya cari om kaya dan jadilah pelacurnya." ucap Meysa membuat Livia menghentak kesal lalu melangkah pergi dari sana.

"Hahh" Meysa menghela napas kasar. Sekarang ia tidak punya waktu untuk mengurus teman-temannya yang tidak setia kawan itu. Meysa hanya harus fokus mengumpulkan banyak uang agar nanti setelah ia menghancurkan Revan dan jalangnya, ia bisa langsung pergi ke tempat yang jauh dan hidup dengan tenang.

Mengingat rencananya membuat Meysa semakin semangat untuk bekerja. Dan mengingat bahwa hanya selangkangannya yang bisa menghasilkan uang maka sepertinya ia harus kembali mencari om-om kaya untuk dipuaskan.

-Bersambung-

Menjadi Istri Tuan RevanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang