XXXVI. Ini Ending

6 0 0
                                    

Ana melangkai gontai masuk ke dalam sekolah.
Melewati lapangan, Ana memperhatikan segerombolan orang yang sedang asik bermain bola kaki di pagi hari.

Mengurungkan niat ke kelas dan memilih duduk di tepi lapangan sembari menonton adalah hal yang dilakukannya selanjutnya.

Meski duduk di tepi lapangan layaknya penonton, nyatanya Ana tidak benar-benar menonton permainan itu. Tatapannya nampak kosong ke depan dan pikirannya yang melayang.

Akhir-akhir ini Ana merasa hidupnya seperti tidak terstruktur dengan baik. Acak.

Semua kejadian janggal datang secara tiba-tiba kemudian hilang begitu saja. Masalah yang datang rasanya tidak pernah terselesaikan, hanya dilupakan lalu dianggap seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

Ini aneh. Sangat aneh.

Hembusan napas panjang keluar dari bibir kecilnya, Ana menengadah, menatap langit yang nampak begitu cerah di pagi hari seperti ini.

Ana ingin perasaan ini hilang agar tidak terus-terusan membuatnya merasakan hal aneh.

Ana memutus kontak matanya dengan langit, menatap lurus lagi ke arah lapangan lalu menyadari ada seseorang yang juga tengah memperhatikannya diseberang sana.

Melihatnya, Ana menjadi sadar bahwa orang itu adalah salah satu penyebabnya merasakan hal aneh ini.

Baiklah! Ia akan menyelesaikan yang satu ini dulu.

Ana berdiri dari duduknya, menepuk-nepuk belakang roknya yang berdebu sebelum berjalan memutari lapangan untuk menghampiri orang itu.

"Kak Irga."
Sapa Ana begitu ia telah sampai dihadapan laki-laki itu.

Irga memutar tubuhnya ke samping, menjadikannya kini berhadapan dengan Ana. Sorot matanya masih datar, ia juga tidak membalas sapaan Ana.

"Boleh ngomong?"
Tanya Ana dengan maksud meminta izin karena raut wajah Irga saat ini seperti mengatakan 'jangan bicara dengan saya'.

Oh, sudah berapa hari ia tidak bicara dengan laki-laki ini?
Kapan terakhir kali ia bertegur sapa dengan laki-laki ini?

Ana tersenyum kecil.
Merasa lucu karena tidak berhasil menemukan jawaban dari kedua pertanyaan yang berasal dari kepalanya sendiri.

"Kak Irga mau permen gak?"
Tanya Ana lagi.

Kalau diingat-ingat, dulu Ana tidak pernah bertanya ketika ingin memberikan laki-laki ini permen. Bahkan, ia sering memaksa Irga agar menerima pemberian permennya.

Ana tersenyum lagi.
Jadi, sudah se-asing ini ya sekarang?

"Kak Irga marah ya sama gue?"

"Enggak."

"Kak Irga kemana aja?"

"Gak kemana-mana."

"Kak Irga gak suka ya sama gue?"
Ana menggigit bibir bagian dalamnya kuat, ia harus memastikan hal ini sekarang juga, tidak ada waktu lagi.

"Ana."

"Enggak ya?"

"Iya."

Sudahlah! Ana ingin nyebur ke kali buaya saja.

"Kak Irga sukanya sama Kak Elsa ya?"

"Iya."

Ana menahan napasnya sesaat.
Tenggorokannya tercekat, kedua matanya sudah berkaca-kaca, siap menumpahkan isinya.

Apa kejujuran memang selalu menyakitkan seperti ini?

"Kak Irga mau permen gak?"
Tanya Ana lagi sembari memaksakan senyum di bibirnya.

Like A NovelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang