XXX. Penggalan Cerita

3 2 0
                                    

Kunjungan ke rumah Gito adalah salah satu hal yang membuat Ana senang bukan main. Terlebih saat Kino akhirnya mau ia gendong lalu bermain dan bahkan sesekali memanggilnya dengan sebutan 'akak'.

Kini, hari sudah berganti Jum'at.
Ana memulai harinya dengan bersiap untuk berangkat ke sekolah. Ia menyempatkan diri untuk sarapan walaupun jam sudah menunjukkan pukul 7 lewat 10 menit.

Cahyo malah lebih santai lagi, laki-laki itu baru saja selesai mandi dan bergabung untuk sarapan.

"Tumben lo lelet." Ujar Cahyo melirik Ana yang diam saja, tidak menanggapi ucapannya.

Pukul 07.35 barulah mereka berdua berangkat ke sekolah.

Ana sudah sangat yakin kalau ia terlambat dan sebenarnya ... memang itu yang ia inginkan. Entahlah, akhir-akhir ini ia sangat malas untuk pergi ke sekolah, ia bahkan selalu mencari-cari alasan agar tidak bersekolah.

Sekolah sudah terlalu membosankan. Bagaimana tidak? Irga akhir-akhir ini mengabaikannya, bahkan permen yang selalu Ana taruh di laci laki-laki itu terlihat sama sekali tidak tersentuh. Jika berpapasan, Irga tidak melirik Ana sama sekali, pandangannya hanya lurus ke depan.

Bagaimana dengan Ilhon?
Laki-laki ini lebih parah lagi.

Em... Pikar?
Tidak usah ditanya. Sudah seminggu ini Pikar tidak masuk sekolah.
Alasannya?
Mana Ana tahu.

Begitu sampai di sekolahnya, Ana langsung berpamitan pada Cahyo yang juga akan berangkat ke sekolahnya.

"Heh kamu! Jam berapa ini?!" Satpam yang ada di balik gerbang sudah berkacak pinggang, menunggu saat yang tepat untuk menyerahkan Ana kepada guru BK yang sedang piket.

Dan disinilah Ana sekarang, berjalan gontai mengikuti langkah seorang guru BK ke tengah lapangan. Sepertinya ia akan dijemur lagi seperti kemarin.

"Berdiri di samping dia sampai jam istirahat tiba!" Titahnya.

Ana melirik seseorang yang ditunjuk oleh guru BK. Ia terkejut begitu menyadari itu siapa.

Irga.
Laki-laki yang akhir-akhir berhasil membuatnya galau bukan main karena sikapnya yang seolah tidak ingin lagi berhubungan dengannya.

Ana bertanya-tanya dalam hati, apa karena perbedaan itu?
Sebenarnya, ia tidak menginginkan hal lebih karena itu memang mustahil. Ana hanya ingin berteman dengan Irga tapi, apa tidak bisa juga?

Menghela napas panjang, Ana berdiri sejajar dengan Irga sejauh 2 meter. Baiklah kalau memang begini akhirnya, ia tidak akan memaksa lagi Irga untuk menerima permen pemberiannya.
Dan mungkin..., mulai hari ini Ana juga akan berhenti memberi Irga permen.

Lagipula, Ana mulai sadar bahwa hidupnya tidak akan pernah sama dengan novel. Cerita hidupnya ditulis oleh Yang Maha Kuasa sedangkan novel ditulis oleh manusia.

Mana bisa manusia menginginkan sebuah kehidupan yang hanyalah hasil imajinasi dari seorang manusia?

Lagipula, jika dipikir-pikir lagi mana bisa masuk akal jika seseorang yang punya seseorang istimewa di masa lalunya tiba-tiba bisa dengan mudah berpaling kepada orang baru?

Dulu, Ana dengan bodohnya sempat berpikir bahwa Ilhon akan melupakan Elsa dan mulai mencintainya.

Dulu, Ana berpikir ia bisa dengan mudah kembali meluruskan benang kusut yang terjalin di antara hubungan Irga, Pikar dan juga Ilhon.

Namun nyatanya, semua tidak semudah seperti yang ada di dalam novel.

Ana lebih sering menerima penolakan dan pengabaian ketimbang sebuah perhatian yang membuatnya perlahan sadar bahwa sebuah novel adalah kumpulan omong kosong belaka.

Kumpulan omong kosong yang juga diinginkan oleh tiap-tiap penulisnya.

Tak lama setelah ia mengangkat lengannya untuk hormat kepada Sang Merah Putih, seorang laki-laki menyusulnya dan berdiri di sampingnya dengan jarak 1 meter.

Ana ingin sekali mengikhlaskan keinginannya memiliki masa remaja seperti yang ada di novel namun, kenapa setiap ia hendak melakukan hal itu selalu saja ada momen yang membuatnya percaya bahwa hidupnya ini memang sama persis seperti novel ciptaan manusia?

Pikar.
Laki-laki itu datang setelahnya dan ikut dihukum bersamanya.

Otomatis, saat ini Ana berada di tengah-tengah antara Irga dan Pikar.

Kepala Ana dibuat pening dengan segala hal-hal janggal yang selalu menimpanya ketika ia hendak menyerah dengan kehidupan remaja di dalam novel seperti keinginannya.

Lebih parahnya lagi, dua laki-laki yang ikut andil dalam segala kepeningan Ana kini malah mendekat padanya, mencoba menghalau sinar matahari yang serasa akan membelah tempurung kepalanya.

Tidak sampai disitu, pandangan Ana tiba-tiba mengabur lalu menggelap, keseimbangannya perlahan runtuh dan hal terakhir yang ia rasakan adalah tubuhnya digendong oleh seseorang.

Ana berharap akan ada seseorang yang mengatakan padanya bahwa ini adalah penggalan cerita yang ditulis oleh Maha Kuasa dan bukan penggalan cerita yang ditulis oleh manusia.

×/×

Duhh Anaa kok jadi mellow gini sii🥺

Like A NovelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang