IX. Mama dan laki-laki lain

8 2 0
                                    

Sebelumnya aku mau minta maaf karena lama update. Akhir-akhir ini aku sibuk banget sama kerjaan sampai kurang waktu buat nulis, sekali lagi maaf karena udah buat kalian nunggu lamaa :(

Selamat membaca dan semoga ikut merasakan apa yang dirasakan Ana🤍

《♡》

Ana dan Ilhon kini berjalan bersisian. Genggaman itu sudah terlepas sejak beberapa menit yang lalu. Bukan, bukan Ana yang melepasnya tapi, Ilhon.

"Sorry, tadi gue cuma mau nuntun lo aja supaya jalan di sebelah." Begitu ujarnya.

"Iya."

Keduanya terdiam, suasana menjadi canggung. Ana menatap Ilhon dari samping, laki-laki itu berjalan dengan tenang seolah tidak pernah terjadi apa-apa, berbeda dengan dirinya yang bimbang harus menanyakan perihal kedatangan Pikar dan Irga atau tidak.

"Lo ziarah ke makam siapa?" Ilhon menoleh, kini tatapan keduanya bertemu, ia tersenyum manis pada Ana.

"Kalau lagi jalan itu lihat jalan, nggak lucu kalau lo sampe nyemplung ke kuburan." Lanjutnya dengan kekehan kecil.

"Ya gimana lagi, pemandangan di sini jauh lebih seger daripada di depan." Ana nyengir.

Ilhon tertawa, merasa geli mendengar perkataan Ana. "Jadi, lo lagi ziarah ke makam siapa?" Ulangnya.

"Ke makam Ibu sama Bapak."

"Ibu ... Bapak lo?"

"Iya."

"Sorry, gue gak bermak--"

"Nggak papa, wajar. Kalau Ana jadi Kak Ilhon pasti bakal nanya gitu juga, santai aja."

Ilhon mengangguk kecil.

"Kak."

"Kenapa?"

"Itu tadi ... Kak Irga sama Pikar mau ziarah ke makam siapa?"

1 menit.
3 menit.
5 menit.

Merasa tidak ada jawaban, Ana menoleh lagi pada Ilhon, laki-laki itu terlihat sangat sibuk dengan ponselnya, pantas saja.

"Na, gue balik duluan ya. Bye!"
Ujar Ilhon tiba-tiba sembari menepuk bahu Ana, kemudian berlari meninggalkan gadis itu.

Bibir Ana terbuka, hendak mengatakan sesuatu namun kata-kata itu tertelan begitu saja, ia sadar bahwa Ilhon sudah terlalu jauh darinya.

《♡》

Cahyo membuka pelan pintu kamar Ana, dilihatnya adiknya itu sedang berbaring sembari menatap kosong plafon, seperti sedang memikirkan sesuatu. Melangkah masuk dan ikut berbaring disebelah Ana adalah hal yang cahyo lakukan selanjutnya.

"Mikirin apa sih, Na?" Tanyanya.

Ana menoleh sesaat, "ngapain lo? Gabut?"

Cahyo nyengir, "tau aja lo."

"Eh tadi gue liat lo jalan bareng cowok dikuburan, siapa?" Tanya Cahyo, lagi.

"Kak Ilhon."

"Pacar?"

"Amin!"

"Dih."

Hening. Cahyo ikut melakukan apa yang Ana lakukan, menatap kosong plafon yang dipenuhi dengan stiker bintang yang bisa menyala jika lampu dimatikan.

"Bang?"

"Hm."

Hening lagi. Ana sedang menimbang-nimbang, apa harus ia tanyakan hal ini pada Cahyo?

"Bang?"

"Hm."

"Kalau misalkan Mama menikah lagi, gimana?"

Tadi siang, setelah Ilhon pergi meninggalkannya, ia tidak sengaja melihat mama sedang berbincang akrab dengan seorang laki-laki, keduanya terlihat sangat senang, saling berbincang dan berbalas tawa.

"Bagus dong. Lagian Mama masih muda dan belum punya anak juga."

"Kan ada kita."

"Kan kita cuma anak tiri. Gue yakin Mama juga pengen punya anak sendiri, anak kandung, anak yang lahir dari rahimnya."

"Jadi, lo ngerestuin kalau mama nikah lagi?"

"Iya dong. Kenapa? Lo nggak setuju kalau Mama nikah lagi?"

Ana menoleh ke sisi kiri, menatap sebuah foto yang ada di atas meja belajarnya lalu tersenyum kecil.
"Ibu aja setuju Bapak nikah lagi, masa gue nggak setuju Mama nikah lagi?"

《♡》

Hari dimulai kembali.
Ana terbangun untuk kesekian kalinya selama hidup, merasa kasurnya bergerak padahal ia tidak bergerak Ana langsung menoleh ke samping, alisnya mengerut dalam merasa jijik ketika mendapati Cahyo sedang berbaring damai dengan garis putih di ujung bibir hingga pipi.

"Lha? Ni orang ternyata semalam nggak pindah."

Ana mengabaikannya, ia turun dari kasur, melangkah keluar dari kamar menuju dapur untuk melihat apa yang dimasak sang mama hingga baunya sampai ke kamar.

"Pagii Maa, masak apa?" Sapa Ana sebelum masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka.

"Pagi sayang, masak nasi goreng."

"Assalamualaikum."

"Na? Tolong bukain pintu, sayang."

"Iya Ma." Ana yang baru saja selesai mencuci muka langsung ke depan dengan tanya siapa yang datang pagi-pagi begini?

"Waalaikumsalam!"
Ana membuka pintu namun, setelah pintu terbuka ia malah terdiam, tatapannya menjadi dingin ketika tahu siapa yang datang. Laki-laki kemarin, laki-laki yang ia lihat sedang berbincang bersama mamanya. Sebentar, apa yang ia lakukan di sini?

"Hallo."
Laki-laki itu menyapanya, tersenyum padanya dan Ana masih saja diam.

"Eh Mas, aku kira siapa. Ayo masuk, Na ayo masuk, kita sarapan sama-sama." Mama muncul dari dapur, mempersilakan laki-laki itu masuk dan juga mengajaknya sarapan bersama.

Di sinilah Ana sekarang, duduk berhadapan dengan laki-laki itu untuk sarapan. Cahyo ada di sampingnya berhadapan dengan mama, kakaknya itu santai sekali bahkan sudah menambah nasi goreng untuk kedua kalinya, itu membuat Ana kesal dan berakhir dengan mencubit pinggang Cahyo.

"Aw! Apa sih Na?"

"Lo bisa nggak sih gak usah makan?!"

"Hah?!" Beo Cahyo.

Ana berdecak keras, ia berdiri dari duduknya lalu pergi begitu saja. Ia benar-benar tidak suka laki-laki itu berada di rumahnya apalagi duduk di bangku bapak, rasanya Ana ingin berteriak, mengusir laki-laki itu sekarang juga.

《♡》

Sampai jumpa lagii🤍🤍

Like A NovelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang