.
Seolah kejadian baru-baru ini belum cukup membuat Keila sengsara, hari ini Papinya yang selalu sibuk itu tiba-tiba saja menawarkan diri untuk mengantar Keila ke sekolah. Tentu Keila yakin seratus persen ada maksud lain dibalik perbuatan Papinya yang mungkin saja berhubungan dengan insiden hari itu.
Sulit untuk mengakui bahwa Keila masih sedikit beruntung karena sejak sepuluh menit mobil itu melaju di jalanan, Papinya tidak mengajaknya bicara ataupun menyinggung langsung kejadian itu.
Namun ketika tiba di depan gerbang sekolah, Tama berdeham dan melirik pada Keila yang masih sibuk dengan ponselnya.
"Ehm."
"..."
"EHMM."
Keila menghembuskan napas, menoleh malas kepada Papinya yang sedang tersenyum langsung ke arahnya dengan sebelah tangannya yang bertengger pada kursi Keila.
"Apa?"
"Gimana si Harris?"
Keila masih memandang wajah Tama tanpa ekspresi. Entah kenapa rasanya saat ini Papinya itu seperti tengah memojokkannya.
"Papi udah janji gak bakal bahas itu lagi."
Tama agak salah tingkah. "Ya emang, ini Papi cuma bertanya aja. Kenapa harus marah?"
"Aku gak marah."
"Dia masih berani hubungin kamu?"
"Gak."
"Awas aja kamu ya Papi liat deket-deket lagi sama si anak Jepang itu."
"What are you talking about?"
"Ya mukanya kan mirip orang Jepang."
Keila memutar bola mata. Bersiap untuk membuka pintu sebelum Tama kembali berbicara.
"Papi sempat bicara sama dia di WhatsApp. Well, keluarganya sih emang keliatan baik-baik. Tapi itu gak bisa menjamin anaknya juga kayak begitu. Jadi, berteman aja sama yang baik-baik, ok?"
Rasanya Keila ingin berteriak keras-keras di depan wajah Papinya itu namun ia segera menahan diri dan menelan kembali umpatannya. Jadi yang Keila lakukan saat ini adalah memamerkan senyum palsunya dan mengangguk.
Keila menutup pintu mobilnya dengan kasar dan ingin cepat-cepat pergi dari sana namun lagi-lagi ada saja gangguannya. Kali ini bukan dari Tama, melainkan seorang gadis mungil yang entah datang dari mana tiba-tiba memeluknya.
"PAGI KEIII!!! PAGI OM TAMA!!" ucap gadis itu riang setelah Tama memarkirkan mobilnya ke arah berlawanan.
Kaca mobil itu terbuka dan menampilkan Tama dengan kacamata hitamnya yang sedang tersenyum manis. "Pagi Hanni."
"Masih pagi udah ganteng aja om, hehe..."
"Bisa aja kamu. Sini," Tama memberi gestur menyuruh Hanni mendekat lalu memberikan selembar uang lima puluh pada gadis itu yang langsung memekik kegirangan.
"Om, ini gak kebanyakan?"
"Udah simpan aja. Katanya mau nonton konser apa tuh yang kamu sama Keila omongin waktu itu?"
"BLACKPINK, Om."
"Nah, iya itu."
"Makasih banyak, Om. Serius deh, kalo bisa aku mau sekalian sujud-sujud nih depan Om sekarang."
Tama sukses dibuat tertawa.
Kadang Keila berpikir bahwa seharusnya yang menjadi anaknya Tama adalah Hanni mengingat keduanya memiliki banyak kesamaan dan terlihat begitu akrab satu sama lain. Bukan seperti Keila yang saat itu juga langsung putar balik ingin cepat-cepat sampai ke dalam kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Vijendra
Fiksi PenggemarPerihal dinamika kehidupan sehari-hari keluarga Vijendra yang tak lepas dari perilaku kelima penghuninya dengan karakteristik yang berbeda-beda. Dari si sulung yang pecicilan dan tak bisa diam, sampai si bungsu yang introvert dan amat sangat pendiam...