warning: mature content
---
Berbeda dari malam-malam sebelumnya, pada malam yang sunyi ini Jenny tiba-tiba terbangun dari tidur lelapnya setelah mendapati mimpi buruk. Jantungnya berdegup kencang. Jenny mengubah posisi tidurnya menghadap ke kiri hanya untuk menemukan suaminya tidak ada di sana.
Linglung. Jenny mulai merasakan atmosfer dingin serta mencekam dari kamar ini yang gelap gulita kalau saja tidak ada secercah cahaya dari luar yang menyelinap masuk melewati celah-celah jendela.
Waktu menunjukkan pukul dua dini hari saat Jenny meraih baju panjangnya dan memutuskan untuk turun ke bawah. Langkahnya langsung membawanya ke dapur untuk mengambil segelas air. Namun tak lama ia beranjak setelah rungunya tak sengaja mendengar sayup-sayup suara televisi yang berasal dari ruang tengah.
Setibanya di sana Jenny langsung disambut oleh Tama yang tengah duduk memperhatikan laptop dengan beberapa dokumen kerja bertebaran di sekitarnya. Secangkir kopi yang sudah dingin diletakkan di atas meja sementara tv dibiarkan menyala untuk mengisi kesunyian di ruangan itu.
Merasakan kehadiran seseorang, Tama langsung mengangkat wajah. "Hey, ada apa?"
Dengan wajah setengah mengantuknya Jenny duduk di sebelah Tama. Kemudian bertanya sembari meletakkan gelas di atas meja, "Kamu belum tidur atau udah bangun?"
"Belum tidur, ini nanggung masih ada yang harus diselesaiin," jawab Tama sempat mengulas senyum kecil.
Jenny menggeleng kecil. Matanya ikut mengintip ke layar laptop. "Oh, masih dengan proyek kamu yang di Semarang itu? Ada masalah?"
Tama menggeleng pelan, "Cuma ada sedikit kendala tapi untungnya udah aku beresin. Besok ada meeting lagi, ini sekarang aku lagi nyiapin bahan presentasinya."
"Pasti capek banget ya? Pantes akhir-akhir ini aku perhatiin kamu kurang tidur." Jenny tersenyum dan mengusap sesaat tangan Tama.
"Jujur aku bisa kewalahan kalo seandainya Papa gak ikut meng-handle proyek besar ini. Ya meski selama ini aku gak pernah mau Papa ikut campur tapi kali ini aku benar-benar desperate dengan semuanya," Tama menghela napas lalu menoleh pada Jenny. "Wish me luck."
"Will do," ucap Jenny seraya menggapai helai-helai rambut di kening Tama. Wanita itu kembali berujar, "Udah panjang, belum mau dipotong juga?"
"Gak mau dipotong, Juniar bilang rambut panjang lagi ngetren sekarang."
"Oh, my..."
Tama tergelak sewaktu menangkap ekspresi wajah Jenny yang langsung terkesiap. "Just kidding."
Jenny hanya bergumam pelan. Tadinya ia ingin kembali ke kamar, namun sesuatu tiba-tiba muncul di kepalanya. "Mas?"
"Mm-hm?"
"Aku boleh ngomong sesuatu nggak?"
"Sure. I'm all ears."
Jenny menghela napas sesaat sebelum akhirnya berkata, "Kamu gak ada niatan buat baikan sama Keila?"
Sekali itu saja jari-jari Tama yang semula menari di atas keyboard seketika berhenti. Pria itu belum menoleh, tapi Jenny bisa melihat raut wajahnya berubah.
Jenny meraih telapak tangan Tama dan menggenggamnya. "Aku tahu, kamu pasti punya alasan tersendiri dibalik itu semua. Bukannya aku mau mendikte, tapi apa gak sebaiknya kamu bicara lagi sama Keila dan jelasin secara baik-baik buat meluruskan semuanya? Maksud aku, baik kamu dan Keila saat itu lagi sama-sama marah. Sementara kalian tetap berpegang teguh pada ego kalian sendiri. Dan aku gak bisa menyalahkan siapapun karena kalian sama-sama punya kendali atas diri kalian sendiri."

KAMU SEDANG MEMBACA
The Vijendra
Fiksi PenggemarPerihal dinamika kehidupan sehari-hari keluarga Vijendra yang tak lepas dari perilaku kelima penghuninya dengan karakteristik yang berbeda-beda. Dari si sulung yang pecicilan dan tak bisa diam, sampai si bungsu yang introvert dan amat sangat pendiam...