28 - Go Home

3.3K 262 29
                                    



Dua hari kemudian setelah pemakaman, pasutri yang kita sudah tahu siapa, terpaksa pulang ke Jakarta begitu cepat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dua hari kemudian setelah pemakaman, pasutri yang kita sudah tahu siapa, terpaksa pulang ke Jakarta begitu cepat. Jika lebih lama lagi, Gabriel dan Daryl akan terkena SP dari kantor mereka. Pasalnya, sudah mau seminggu mereka tidak bekerja sebab pulang kampung ke Yogyakarta.

"Padahal... aku belum mau balik Jakarta. Mau nemenin Bapak," ujar Daryl pada istrinya.

Daryl, Rossalin, dan Angelica tengah duduk bertiga sejajar. Sedang berada di pesawat menuju Jakarta. Duduknya di depan kursi Gabriel, Sharena, dan Kenzie—yang ketiga-tiganya tidur kompak sejak belasan menit silam.

Gabriel lelah sekali. Lelah menangis, lelah tak tidur saat malam hari. Setelah Stefanie, Gabriel yang paling banyak menangis. Maklum, kedua orang itu hatinya yang paling lembut dan sensitif.

Daryl, tentu ia pun sedih. Belum bersenang-senang dengan Ibu secara layak, tapi sang bunda sudah dipanggil oleh Yang Maha Adil. Namun, sifat tegas Daryl lebih mendominasi sehingga tak banyak menangis seperti dua kakaknya, Gabriel dan Stefanie.

"Iya, Mas... aku sedih lihat Bapak, apalagi Mbak Stefi. Tapi takut juga sama bosnya Mas kalau sampai marah," balas Rossalin menanggapi.

Daryl mengangguk. "Makanya itu... kayak ada yang ngeganjel rasanya. Belum mau ninggalin Bapak, tapi keadaannya susah banget."

Rossalin menatap sang suami dengan wajah ayu sendunya. Melihat tangan Daryl menganggur di atas tempat tangan kursi pesawat, Rossalin menggenggamnya pelan. "Iya, Mas," katanya pelan.

Daryl tak terusik, sedang sibuk menatap gumpalan awan-awan di luar jendela oval pesawat. Bermuhasabah. Berpikir banyak tentang hal-hal yang banyak ia lewatkan. Seharusnya, Daryl bisa lebih dekat dengan ibunya. Memahaminya, bicara dengannya, mendengar ceritanya.... Akan tetapi, sudah terlambat. Kesempatan itu sudah hilang.

Sesak sekali, tetapi Daryl bisa apa? Hanya menyesal, lantas berdoa.

Langit cerah, biru muda apik. Awannya putih, bergulung-gulung tipis. Cuaca yang sangat baik untuk penerbangan ke sana-kemari. Namun, tidak dengan hati Daryl yang menerawang ke sana-ke sini.

"Aku menyesal, Lin. Kalau dipikir-pikir, banyak sekali yang aku sesali belakangan bulan ini," ucap Daryl lagi, masih menatap awan-awan di langit.

Rossalin menyimak, masih menggenggam tangan suaminya.

"Pertama, aku menyesal sempat buat Mas Gabriel tersinggung dan sedih waktu itu, sampai dia gak mau ke rumah kita lagi. Memang, sejak dulu aku sering banget nyinggung dia, nyakitin dia... tapi dia gak pernah balas...." Daryl berhenti sebentar, teringat wajah belia masnya waktu mereka masih tinggal bersama sebagai anak Pak Aryano dan Ibu Vena.

"Kedua... kamu," lanjut Daryl. "Aku bikin kamu sakit hati sampai kamu hampir ninggalin aku. Ketiga... kematian Ibu yang mendadak, sangat mendadak. Aku bahkan belum ada waktu buat ketemu sama Ibu. Aku ngerasa Tuhan lagi menghukum aku dengan semua ini." Daryl berujar lambat dan pelan, menerka maksud Tuhan atas dirinya.

HUSBANDS ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang