4. Masa-Masa Paling Menyakiti

32 9 21
                                    

Aku baru saja sampai di Rumah Sakit Sardjito. Aku memarkirkan motor, kemudian turun dan melewati koridor rumah sakit yang naik turun. Aku mencari lift. Cukup melelahkan karena letak lift-nya jauh dari parkiran. Seperti tujuanku minggu lalu kalau aku hendak cek up.

Aku masuk lift dan naik ke lantai 3. Aku memasuki ruangan Cempaka untuk menemui psikiaterku. Aku sudah mengurus BPJS untuk cek. Di depan ruangan ada perawat yang bertugas mengecek tensi tekanan darah dan berat badan. Mencatat data-data yang diperlukan, baru kemudian aku mengantre. Aku menunggu antrean sambil membaca buku. Kata perawatnya, nanti aku akan konsultasi dengan Psikiater Endah.

Membaca adalah salah satu hobiku untuk menambah wawasan. Tidak selalu buku-buku non-fiksi, aku juga butuh membaca buku-buku fiksi untuk hiburan. Dari membaca itulah yang kemudian menarikku untuk suka menulis. Menurutku menulis tanpa membaca adalah tumpul. Aku tentu tidak ingin menjadi penulis amatiran, aku benar-benar ingin menjadi penulis dengan sering membaca. Selain mempertajam ingatan, juga membuatku tahu banyak hal.

Tiba-tiba aku teringat soal Gamakata lagi. Ah! Kenapa lelaki itu memenuhi isi kepalaku melulu sih. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya setelah meminta nomor WA ku yang foto profilnya adalah hitam tanpa gambar. Sudah seminggu Gamakata tidak update tulisan. Gamakata juga tidak menghubungiku. Mungkin dia bingung bagaimana memulainya. Menyedihkan.

Setengah jam mengantre, saatnya giliranku dipanggil. Aku mengetuk pintu ruang rawatnya, kemudian membuka setelah dipersilakan sambil mengucap salam. Salam dijawab dan aku dipersilakan untuk duduk. Kami berkenalan singkat, aku ditanya-tanyai tentang aku anak ke berapa, ayah dan bunda kerja apa. Kemudian aku diminta menceritakan apa yang selama ini menjadi bebanku sehingga berencana mendatangi psikiater. Aku diberi kebebasan dalam cerita. Mau menangis, mau tidak, silakan katanya. Namun, kalau ingin menangis, lepaskan saja. Aku cerita kepada psikiaterku dimulai dari masa kecilku.

Aku tinggal di sebuah desa. Aku kecil saat belum sekolah tidak pernah diizinkan untuk main ke luar rumah. Aku hanya berkomunikasi dengan keluarga dan saudara-saudaraku saja. Sehingga aku kecil tidak punya teman sebaya. Aku berteman dengan orang-orang dewasa. Jika aku tidak habis makan, tidak mau mandi, tidak mau mematuhi perintah ibu aku akan dipukul menggunakan sapu lidi, tangan kosong, atau ditendang. Selain itu, ibu juga melontarkan kata-kata bahwa aku anak yang tidak berguna, menyusahkan, dan memanggilku dengan nama-nama hewan. Ibuku tidak pernah mau aku ajak bermain bersama. Aku lebih sering bermain bersama ayahku. Saat aku kecil ayahku sangat menyayangiku dan tidak pernah memarahiku atau berbicara tidak menyenangkan. Ayahku sangat menyayangiku hingga aku sekolah di taman Kanak-Kanak.

Kami keluarga yang nomaden. Mengkontrak sana-sini karena belum bisa membangun rumah. Semenjak aku menginjak SD dan ayah tahu hasil nilai rapotku, ayah mulai berubah. Karena hasil rapotku buruk sekali. Aku bahkan mendapatkan ranking terbelakang. Mengingat ayahku seorang dosen fakultas ekonomika dan bisnis di UGM, tiba-tiba ayahku berubah menjadi sangat protektif dan menyetir hidupku. Apa yang aku inginkan selalu dilarang oleh ayahku. Aku hanya boleh patuh dengan apa yang diperintahnya dan itu dengan paksaan. Ayah juga tiba-tiba berani memarahiku, membentakku di depan umum sehingga membuat aku malu dengan teman-teman sebayaku. Di situ aku merasa kecil dan lemah.

Aku benar-benar bingung dengan perubahan ayah. Selain itu kemarahan bundaku semakin menjadi-jadi semenjak tahu aku anak yang tidak pintar. Aku dididik dengan sangat keras dan protektif. Hal itu bukannya membuat aku pintar, justru membuatku lelah mental.

Di SD aku juga mengalami pem-bully-an secara verbal yang dilakukan oleh teman-temanku dan seorang guru. Aku mempunyai kebiasaan menggigit-gigit jari di sekolah. Kata psikologku, menggigit-gigit jari adalah suatu gejala awal munculnya kecemasan. Aku sering diejek menjijikkan, bodoh, dan tidak bisa apa-apa. Masih teringat jelas wajah-wajah teman SD ku yang suka mem-bully-ku. Aku tidak punya teman dekat awalnya sampai akhirnya aku punya tetangga yang punya anak laki-laki, namanya Putra. Putra satu sekolah denganku. Dia memiliki badan yang kecil, sulit tinggi, tapi dia sangat pintar. Ketika aku di-bully, dia selalu membelaku. Mendekatiku dan mengusir teman-temanku yang berteriak melingkariku hanya untuk mengejekku. Putra benar-benar superheroku di sekolah.

Instrumen Derap Kaki Kuda ✔ [NEW]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang