12. Sekaten

23 7 9
                                    

Semenjak pertemuan itu dengan Reo, dia benar-benar memanggilku setiap dia melihatku di kampus. Hal itu menarik perhatian Sofa dan Pita. Mereka meminta penjelasan padaku tentang siapa Reo. Aku jujur saja kalau Reo saingan lombaku. Namun, aku tidak cerita kalau sepertinya Reo ada niatan mendekatiku. Sofa dan Pita hanya menerka-nerka sepertinya Reo menyukaiku, karena hampir setiap hari kalau bertemu pasti disapa.

"Banyak amat sih kayaknya yang naksir kamu Nes. Idam, Reo, Gala. Maruk amat," canda Pita.

"Eh, enggak. Gala nggak naksir aku. Dia cuma anggap aku saudara. Idam bener. Kalau Reo... nggak tahu ya. Menurut kalian aja sih," jawabku.

"Ah, pasti naksir udah kalau suka manggil-manggil!" jawab Sofa. "Cie Ines..."

"Ciee..." sambung Pita.

"Apaan sih. Iya, aku tahu kalau aku juga kagum sama Reo, tapi kan belum tentu jadian," jawabku salah tingkah.

"Ohh... jadi ada harapan jadian?" goda Pita.

"Cieee!" goda Sofa.

"Eh, denger-denger besok Minggu ada sekaten. Ke sana yuk bertiga! Seru deh kayaknya," ajak Pita.

"Aduh sorry banget nih gaes. Aku dah janjian sama Reo mau ke sekaten berdua."

"Nah, nah, tuh kan!" heboh Sofa. "Beneran pedekate?"

"Wah, Ines beneran udah selangkah lebih maju. Tahu-tahu kencan," komentar Pita.

"Demi kamu kencan sama Reo, aku sama Pita nggak apa-apa sih ke sekaten berdua," ucap Sofa.

"Bener. Fiks ya udah sana kamu have fun sama Reo. Kita ikhlas asal ada pajak jadiannya," ucap Pita.

"Ih, apaan sih. Cuma jalan doang. Belum tentu juga ditembak besok."

"Ohhh... berharap ditembak...!" seru Pita dan Sofa bersamaan.

"Eh, nggak-nggak. Bukan gitu maksudnya. Ah, udah ah!" aku tersenyum malu.

Sepanjang perjalanan menuju kelas, Sofa dan Pita tidak henti-hentinya menyindirku dengan kata "Cie ada yang berharap". Salah tingkahnya setengah mati. Tahan Ines, jangan terlalu cepat berharap. Kalau kenyataannya tidak sesuai nanti sakit.

...

Reo nampak sangat manis dan tampan dengan kaus hitam dipadu kemeja dengan kain flannel cokelat yang digulung hingga ke siku, celana jins hitam, dan sepatu sneaker hitam. Gaya rambutnya yang Ivy League juga menarik perhatianku. Kumis tipisnya menambah kesan manis. Apalagi lesung pipinya yang menekuk ke dalam ketika senyum dan retinanya yang berwarna cokelat tua. Astaga... tiada yang bisa menandingi ketampanannya di mataku. Jujur sih, kalau soal tampan siapa Reo dengan Gala, aku akui tampan Reo. Gala nomor dua. Aku saja masih tidak menyangka akan bersanding dengannya malam ini di sekaten. Padahal tampangku biasa-biasa saja.

Aku mengenakan gamis merah marun dengan kerudung pashmina cokelat tua. Saat bertemu Reo di depan gerbang rumahku kita saling menatap dalam beberapa detik lalu sama-sama saling senyum. Apakah ini pertanda kita sama-sama terpikat? Aku sudah izin ayah kalau malam ini akan keluar dengan Reo. Pastinya ayah membatasiku hingga pukul 10 malam. Bundaku terbiasa tidak peduli aku pergi dengan siapa saja, jadi aku hanya izin ayahku yang gemar marah-marah kalau aku keluar dengan laki-laki tidak jelas.

Reo memarkirkan motornya dan langsung membayar Rp 2.000,- setelahnya kami masuk sekaten tanpa membayar. Sekaten itu ibarat pasar malamnya kota Jogja. Kita membeli satu gula-gula kapas berwarna merah muda untuk kami berdua makan bersama. Kami menaiki wahana kincir angin sambil memakan gula-gula kapas. Sehabis itu kami naik ontang-anting, dan terakhir rumah hantu.

Instrumen Derap Kaki Kuda ✔ [NEW]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang