24. Pengakuan

26 6 7
                                    

Aku menjalani terapi bulan kedua di Rumah Sakit Jiwa dan Umum Soerojo Magelang. Ayah dan bunda saling shift-shift-an menjagaku di RS. Pagi sampai siang aku dijaga oleh Bunda siang sampai malam aku dijaga oleh ayah. Mereka tak kenal lelah untuk membantuku pulih. Oleh Psikiater Santi aku sempat ditanya bagaimana terapinya? Apakah ketika melihat ikan-ikan aku mudah berkosentrasi. Aku pun jujur kalau melihat, aku kurang bisa fokus, apalagi kalau terdistraksi oleh aktivitas lain, langsung buyar. Kemudian oleh Psikiater Santi diganti. Kali ini terapinya aku harus mendengar suara-suara di hutan. Jadi layarnya menampilkan gambar hutan, kemudian ada suara petir, burung, air, angin yang membuat dedaunan bersuara. Intinya suara alam. Ketika terapiku diganti ternyata hasil fokusnya semakin membaik. Aku bisa fokus lebih banyak ketimbang sebelumnya.

Selama menjalani terapi bulan kedua, semenjak aku memberi surat pada Gala, dia masih belum berkabar. Kenapa ya? Aku yakin dia sudah membacanya. Entah mengapa aku takut perpisahan. Aku tidak siap berpisah dengannya. Apakah suara isi hatiku menjadi beban baginya karena kita saudara? Aku menimbang-nimbang keinginanku untuk menelepon Gala. Aku menekan tombol hijau, meneleponnya. Beberapa detik ponselku berdengung, tapi tidak diangkat oleh Gala, padahal dia online. Aku mematikan teleponnya. Aku ingin menangis. Aku mengirim pesan untuknya hanya sekadar menyebut namanya. Pesanku langsung dibaca, tapi tidak dibalas-balas. Kenapa sih? Ya Tuhan. Cinta serumit ini.

...

Terapiku bulan ini berjalan lancar dan hasilnya meningkat jauh lebih baik daripada sebelumnya. Kata Psikiater Santi kepada orang tuaku, aku bisa saja hanya terapi sampai bulan ketiga jika hasil terapi bulan ketiga semakin meningkat dan banyak grafik hijaunya. Aku juga merasakan efeknya. Ketika aku mengingat memori masa lalu saat aku disakiti, rasanya sudah biasa saja. Hanya seperti mengingat sesuatu yang biasa. Sebab biasanya jika aku kena trigger sedikit saja, aku akan langsung cemas dan self harming. Namun, ini tidak.

Sampai detik ini Gala tidak membalas pesanku. Tidak juga meneleponku. Dia hilang begitu saja. Harapanku untuk bertemu dengannya di bulan ini sepertinya tidak ada. Gala saja tidak pernah berkabar, apa yang harus diharapkan? Aku menyerah sudah. Kalau memang keputusan Gala tidak mengabariku gara-gara surat itu, aku rela. Bukankah bahasa cinta yang terindah atas kehilangan seseorang yang kita cintai adalah merelakan?

Aku kembali pada aktivitasku berkumpul dengan anak-anak teater di basecamp. Sekadar bercanda-canda, ngemil bareng, ada yang main PS. Di dalam basecamp ini komputernya dipasangi PS oleh anak laki-laki. Jadi tidak heran kalau yang menongkrong di basecamp pasti kebanyakan anak laki-laki. Saat mereka bercanda, aku hanya menonton di pojokan sambil ngemil. Entah kenapa, aku sedang tidak ingin banyak bicara. Idam mendekatiku dan menyapa. Aku hanya tersenyum untuk membalas sapaannya.

"Lempeng amat Nes? Makan yuk!"

Aku hanya mengangguk dan bangkit memposisikan diri di samping Idam saat berjalan ke kantin. Persahabatanku dengan Idam saja masih berlaku ketika Idam tahu aku tidak mencintainya, tapi mengapa dengan Gala justru aku tidak bisa? Padahal kita saudara. Sesampainya di kantin dan setelah kita mengambil makanan, kami duduk di meja makan paling tengah. Aku dan Idam duduk berhadap-hadapan. Idam dari tadi hanya memperhatikan aku yang diam saja tanpa banyak bertanya. Selesai makan, Idam baru membuka suara.

"Terapi lancar Nes?"

"Hm... lancar kok. Katanya psikiaterku kalau grafik terapiku di bulan ketiga semakin baik, aku udah nggak perlu terapi lagi di bulan keempat."

"Wah, syukurlah. Ikut seneng Nes. Kamu kenapa? Bete banget kayaknya hari ini."

"Aku udah kasih surat itu ke dia bulan lalu, tapi sampai sekarang dia malah menghilang."

Instrumen Derap Kaki Kuda ✔ [NEW]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang