27. Kepergian

23 8 5
                                    

Aku melihat Gala berjalan ke arahku dengan senyumnya yang indah. Aku pun tersenyum dari jauh. Dia mengulurkan tangan untuk bersalaman dan aku balas. Aku mengajaknya naik bendi dan dia bersedia. Mungkin ini akan menjadi yang terakhir. Seperti biasa, Gala duduk di sampingku.

"Eh, Nes. Tahu nggak sih tadi waktu aku mau memperharui kartu SIM ku, masa kan aku disuruh duduk buat foto sama polwannya. Aku baru aja duduk, belum siap apa-apa tiba-tiba langsung cekrek. Batinku, ya Allah Mbak... belum siap. Mukanya jadi kayak gini nih, jelek banget. Asli jelek banget mau ngakak," cerita Gala tiba-tiba dan langsung menunjukkan kartu SIM nya kepadaku.

Aku tertawa geli.

"Tegang amat muka. Wkwk!"

"Nah, maka dari itu! Kesel ih. Eh, jadi gimana-gimana ada kabar apa dari kamu?

"Aku bakal sidang bulan ini dan mengurus wisudaku untuk bulan Maret."

"Waaaahhh selamat! Cepet juga ya?"

"Waktu aku opname, aku sambil ngerjain skripsi. Jadi nggak keteteran."

"Aku masih bab lima nih. Nggak tahu kapan bisa di acc."

"Sabar... hari indah itu akan tiba. Eh, aku punya sesuatu buat kamu," kataku sambil mengambil kado dalam tasku, kemudian aku beri kado itu untuk Gala, dia menerima.

"Sesuatu lagi?" tanyanya.

"Selamat ulang tahun!" kataku girang.

Gala senyum-senyum.

"Eh, oh iya! Kok tahu?"

"Facebook kamu."

"Wahh... makasih yaa... kamu udah terlalu banyak kasih aku sesuatu, padahal aku cuma sanggup kasih kamu gelang."

"Aku tahu kamu suka psikologi dan suka baca. Aku kasih kamu buku. Buku ini bagus banget. Banyak hal dalam sehari-hari yang relate banget sama kehidupan. Kamu harus baca."

Gala masih senyum-senyum dan memutar-mutar kadonya seolah ingin membuka sekarang, tapi kuminta dibuka nanti saja di rumah. Lalu aku meminta Gala untuk foto berdua. Kenangan yang mungkin terakhir. Setiap kami foto bersama, Gala selalu meminta hasilnya. Jadi, Gala juga menyimpan foto kita selama ini. Foto itu kali ini hanya kusimpan, tidak kujadikan story seperti biasanya. Saatnya membahas perihal cinta.

"Gala, mungkin ini akan menjadi pertemuan terakhir kita."

"Terakhir? Kenapa?" tanyanya terkejut.

"Aku tahu kalau kamu harus menjaga hati seseorang."

Gala menunduk dan diam dalam beberapa detik.

"Maksud kamu?"

"Gala nggak usah pura-pura nggak tahu. Kamu udah punya pacar kan?

"Siapa yang kasih tahu?"

"Siapapun yang kasih tahu aku itu nggak penting, yang penting itu kejelasan hubungan kita. Kalau kamu memang nggak cinta sama aku, lebih baik kita mengurangi pertemuan. Aku juga harus berusaha keras untuk nggak mencintai kamu lagi. Kamu paham kan posisiku?"

"Maaf Nes."

"Jujur sama aku, apakah ketika aku kasih surat pertamaku ke kamu, kamu udah cinta sama perempuan itu?"

"Belum kok. Baru Januari kemarin aku mulai nembak dia dan aku nggak mikir dua kali buat jadikan dia pacarku."

"Terus selama ini yang kamu bahas di blog kamu itu siapa?"

Gala menatapku intens, tapi diam saja.

"Jawab Gala!" desakku.

"Itu kamu," jawab Gala menatapku lurus-lurus.

Aku terkejut.

"Kenapa? Kenapa akhirnya kamu malah milih kayak begini? Apa alasan kamu?"

"Nes, kita sama-sama berada di dalam situasi sulit. Kamu Bipolar, aku Glukoma. Gimana caranya kita saling menyembuhkan kalau aku aja nggak bisa. Gimana kita bisa bareng kalau aku aja lemah. Maaf, ini bukan perihal aku nggak bisa menerima kamu Bipolar, tapi aku merasa semua akan menjadi sulit. Kenyataannya kita sama-sama butuh orang yang bisa ngejaga dan merawat kita seutuhnya. Menjadi caregiver untuk kita. Kamu butuh lelaki yang sehat, aku butuh perempuan yang sehat. Bukannya kamu pernah billang ke aku buat cari orang yang kubutuhkan? Terkadang cinta nggak harus saling memiliki Nes, memang sakit, memang perih, tapi ini keputusan yang nyata. Hidup harus seimbang. Kalau aku paksa cinta ini ke kamu mungkin kita malah akan sama-sama saling sakit."

"Kamu buat pertemuan kita dengan seindah itu, tapi kamu tinggalin aku gitu aja. Aku masih nggak ngerti sama kamu."

"Aku tahu aku salah, tapi sekarang udah nggak mungkin. Maaf. Tolong kita pisah dengan baik-baik ya? Maaf. Kamu pasti bisa Nes, lupakan aku, berhenti mencintaiku. Semoga kamu menemukan penggantiku yang lebih baik lagi. Aku janji, meskipun kita nggak sama-sama lagi, aku akan jaga silaturahmi kita sebagai saudara. Kamu setuju kan Nes?"

"Ya, oke. Makasih Gal. Makasih untuk semuanya."

"Aku yang harus bilang terima kasih."

"Sama-sama."

Aku mencoba tersenyum meski sakit. Selesai menaiki Bendi, aku dan Gala pulang ke rumahku. Katanya Gala ingin meminta maaf pada ayahku yang kecewa dengan sikapnya. Makanya aku mengizinkan dia untuk mengantarku sampai rumah. Seperti biasa, sebelum magrib ayah sudah pulang dan membukakan gerbang. Wajahnya murka saat melihat Gala. Gala menyalami ayahku dengan sopan dan tetap bersikap tenang.

"Om, maafin saya sudah membuat Om kecewa. Saya sudah tahu kalau Om marah dengan saya karena seolah saya memberi harapan pada Ines, tapi saya justru meninggalkannya. Saya sudah menjelaskan itu kepada Ines dan dia bisa mengerti. Semoga Om nanti juga bisa menerima alasan saya. Sekali lagi maafkan saya. Saya tidak mau persaudaraan ini menjadi berhenti karena satu masalah yang sebenarnya bisa diselesaikan."

Ayahku terlihat melunak. Air mukanya kembali normal.

"Ya. Saya maafkan. Saya berterima kasih atas segala kebaikanmu selama ini dengan keluarga kami. Kebaikan yang entah bagaimana membalasnya."

"Saya ikhlas Om. Biarkan jadikan kebaikan saya sebagai tanda terima kasih saya karena bisa mengenal Ines dengan baik dan mengajarkan saya banyak hal. Saya pamit pulang Om."

"Ya, hati-hati."

Gala pergi meninggalkan kami. Selamat tinggal Gala. Terima kasih untuk semuanya. Aku menjelaskan kepada ayah tentang alasan Gala menolakku. Ayah pun mengerti dan sama-sama bisa menerima seperti aku. Mungkin memang bukan jodohnya, mungkin memang bukan takdirnya. Perihal Gala selesai. Aku bertemunya dengan baik-baik, lantas pergi juga dengan baik-baik.

Selesai

5 Februari 2020

Titik Tepi

Aku mencintaimu tulus, tetapi kau lepaskan aku serius. Mencintaimu adalah ketidakmungkinan besar bagiku. Semuanya selesai. Perasaanku selesai. Aku harus rela. Terima kasih atas kehadiranmu yang begitu banyak membawa arti. Mungkin tujuan Tuhan mempertemukan kita adalah untuk memberi arti saja, bukan untuk selamanya. Namun aku jadi belajar untuk ikhlas, untuk lebih sabar, untuk lebih tabah daripada biasanya. Kita masih bisa bertemu dalam nyata atau dalam doa. Kepergian ini bukan benar-benar meninggalkan. Hanya mengurangi pertemuan yang direncanakan. Jika suatu saat kami bertemu lagi, itu bukan karena bagian dari rencana kami. Setidaknya persaudaraan ini masih tetap utuh. Hidup tak pernah berhenti memberi kita pelajaran bukan? Ya, begitulah hidup.

Instrumen Derap Kaki Kuda ✔ [NEW]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang