9. Yang Selalu Menerima

21 7 23
                                    

Aku terbangun dari tidurku dengan kepala yang pening dan mata sembap karena menangis semalam gara-gara depresi. Aku sudah seperti kehilangan harapan, hampa, kosong, merasa diri tidak beruntung, ingin mengakhiri hidup. Orang tuaku berkelahi hampir setiap hari. Tidak ada yang peduli apa yang aku rasakan. Beberapa malam lalu, mereka berkelahi lebih dahsyat dari biasanya. Aku terbangun dengan tenaga yang sangat tipis dan hampir tidak ada daya untuk melakukan aktivitas apapun. Aku merasa bahwa aku kadang bisa merasakan kesedihan yang mendalam, hampa, tidak nafsu makan, menarik diri dari lingkungan sosial. Namun, sisi yang lain aku bisa merasakan bahwa aku sangat berenergi, banyak ide, banyak omong, banyak tingkah, sangat bahagia.

Aku bingung dengan suasana hatiku yang mudah sekali berubah. Aku sudah bolos kuliah selama 6 hari karena aku sedang merasa diriku lemah, lemas, dan sedang tidak ingin berbicara dengan siapa pun. Ayahku kerja, Bundaku juga kerja. Tidak ada orang di rumah dan mereka tidak akan tahu aku bolos kuliah atau tidak karena mereka juga tidak tahu jadwal kuliahku.

Sudah tujuh hari aku menghilang tanpa kabar dan hanya berdiam diri di rumah. Aku lebih banyak mengurung diriku di kamar. Aku juga tidak latihan musikalisasi puisi. Banyak yang marah padaku di pesan WA karena aku tidak membalasnya. Idam meneleponku berkali-kali tidak kuangkat. Sofa dan Pita juga mencariku, kecuali Gala. Tidak ada yang kuberi kabar.

Mengingat malam berkelahi paling dahsyat itu membuatku menangis lagi pagi ini. Aku selalu merasa bahwa hidupku bagaikan neraka. Hidup dengan dua orang yang setiap harinya berkelahi dan melukaiku. Aku kembali mencabut rambutku hingga pitak di daerah tertentu dan meletakkan rambutku yang kucabut dalam sebuah tabung. Tabung itu kuletakkan di bawah ranjang. Orang tuaku tahu tentang ini dan komentar mereka hanya menganggapku gila. Malam itu membuatku trauma dan takut. Malam itu ayah pulang dengan aroma baju yang berbeda dari pagi hari. Bundaku curiga dan menuduhnya bercengkrama dengan perempuan lain. Adu mulut kembali terjadi.

"Perempuan mana lagi yang kamu pacari Mas? Kenapa parfumnya beda? Kamu masih belum cukup punya aku!" seru Bundaku malam itu.

"Aku ini kerja bersosialisasi, kumpul sama orang-orang. Ya wajar kalau parfumku berubah bau," alasan ayahku.

"Tapi nggak mungkin sejelas ini!"

"Kamu tuh bawaannya maraaaah terus. Cemburuuuu terus! Negatif thinking terus sama aku! Aku capek ngadepinnya!"

"Ya itu salah kamu! Aku capek Mas!"

"Tiap hari kita kelahi, aku pulang kerja bukannya kamu layani malah kamu marahi! Aku yang capek!"

"Kalau kamu nggak kayak gini, aku juga nggak bakal marah!"

"Kamu tuh maunya apa sih!?"

"Kamu nggak cinta lagi sama aku Mas!"

"Aku cinta, masih cinta! Tapi kalau kamu terus-terusan kayak begini aku jadi—"

"Jadi apa? Kamu mau kita cerai?"

"Loh kok jadi ke arah situ sih."

"Itu kan yang sebenarnya pingin kamu sebut?! Cerai! Iya kan?"

"Aku nggak sama sekali berpikir seperti itu Kinara!"

"Bunda, Ayah, stop! Kenapa sih kalian selalu berantem?! Bisa nggak sih, kalian satu hari aja mikirin perasaan Ines! Ines sedih harus dengerin Bunda dan Ayah berkelahi terus! Apa sih masalah yang nggak bisa diselesaikan? Saling jujur Yah, Bun. Omongin baik-baik!" kataku pada mereka berdua dengan amarah yang berapi-api.

"Kamu nggak usah ikut campur urusan orang tua! Kamu kembali ke kamar!"

"Urusan orang tua itu urusan aku juga! Ayah... Bunda... berkelahi itu ngebuat Ines kayak hidup di neraka!"

Instrumen Derap Kaki Kuda ✔ [NEW]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang