11. Kembali Pada Kehidupan

22 7 34
                                    

Aku mengembalikan buku-buku pinjamanku pada Pita dan Sofa. Mereka meminta penjelasanku karena telah meninggalkan mereka begitu saja, tapi ternyata pergi dengan Gala. Mereka bertanya-tanya, kenapa nama kontaknya kuberi nama Gamakata. Akhirnya aku jujur pada mereka tentang bagaimana aku dan Gala bisa berjumpa. Selain itu, aku juga menjelaskan ke mana perginya aku dengan Gala kemarin.

Semalam aku berpikir untuk menceritakan apa yang terjadi di keluargaku dan diagnosa yang kualami dengan Sofa dan Pita. Tapi dengan cara aku bertanya dulu pendapat mereka tentang psikologi, tentang orang-orang yang mempunyai sakit jiwa dan mental. Ternyata respon mereka sangat positif dan tidak men-judge.

"Karena menurut aku, kejadian yang mereka alami belum tentu kita bisa hadapi, jadi mendingan kalau nggak bisa jadi solusi, lebih baik diam jadi pendengarnya aja," jelas Pita.

"Iya, kita juga nggak bisa menghakimi dia gini gitu karena mereka juga nggak mau punya sakit itu. Dan kalaupun masalahnya dibalik ke kita, itu juga kita belum tentu sanggup menghadapinya. Intinya semua masalah udah dikasih porsinya masing-masing sama Tuhan. Tuhan percaya kalau hamba yang itu sanggup menjalaninya," jelas Sofa.

Setelah mendengar pendapat mereka yang menyejukkan. Aku mulai jujur bahwa aku terdiagnosa Bipolar Disorder. Aku juga melakukan self harm yang bernama Trichotillomania. Aku menjelaskan bagaimana aku melukai diriku sendiri. Sofa dan Pita melihatku bercerita dengan ekspresi sedih. Namun, aku bilang kepada mereka bahwa aku tidak ingin dikasihani. Kalau sehabis ini mereka tidak menerimaku, aku tidak apa-apa. Tapi ternyata, mereka justru memelukku. Memberiku kekuatan tentang penyakitku juga tentang masalah keluargaku.

"Kamu nggak sendiri Nes!" seru Sofa.

"Semangat! Semangat! Ines hebat bisa lalui semua ini sendiri. Sekarang kita akan bareng-bareng menjalaninya," ucap Pita.

Mereka sudah tahu kenapa pipiku memar. Aku merasa lega sudah menceritakan ini kepada sahabat-sahabatku. Aku merasa tidak sendiri lagi. Aku punya mereka yang sayang denganku. Namun, aku merasa cukup menceritakan ini dengan Gala, Pita, dan Sofa. Entah kapan orang tuaku akan peduli denganku. Aku masih mengharapkan mereka sadar kalau anaknya butuh dukungan orang tua. Itu bagian menyedihkannya. Ayah dan bundaku belum menerima sakitku.

...

Aku kembali latihan musikalisasi puisi bersama timku. Mereka memandangku antara marah dan terkejut melihat memar di pipiku. Aku menjelaskan kepada mereka kalau aku baru saja sakit. Aku bilang kalau aku sedang tidak ingin diganggu, makanya semua media sosialku aku tutup. Mereka hanya iya-iya saja seolah "terserah apa katamu" dan aku yang ya sudah kalau mereka marah padaku. Mereka berhak. Tidak ada yang mau bicara denganku. Namun, aku cerita ke mereka kalau aku latihan mandiri di rumah.

Idam masih belum berkomentar sampai latihan musikalisasi puisi dimulai. Ada beberapa perubahan pergantian melodi dan bagian menyanyi. Aku menyesuaikan dengan cepat sehingga membuat marah mereka meredam. Kita jeda istirahat sebentar, aku duduk menyendiri di dekat pohon. Idam mendekat.

"Pipi kamu kenapa memar?" tanya Idam yang masih penasaran.

"Nggak apa-apa. Cuma luka ringan."

"Ada yang mukul kamu?"

"Nggak sengaja."

"Siapa?"

"Bisa bahas lainnya aja nggak?" kataku sedikit ketus.

"Oke, maaf. Aku cuma khawatir sama kamu Nes. Seminggu nggak muncul, sekali muncul dengan keadaan kayak begini."

Instrumen Derap Kaki Kuda ✔ [NEW]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang