Bagian 34

50 6 0
                                    

Nabila terkejut melihat keberadaan Emir Zamran, dia adalah ayah dari Tita yang belasan tahun lalu meninggalkan dirinya dan Tita yang masih bayi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nabila terkejut melihat keberadaan Emir Zamran, dia adalah ayah dari Tita yang belasan tahun lalu meninggalkan dirinya dan Tita yang masih bayi.

"Suster. Di mana Ruang pendonornya?" tanya Emir.

"Mari saya antar, Pak."

"Tunggu Suster," tahan Nabila.

Nabila berdiri di hadapan Emir saat ini. "Mau apa kamu di sini?" tanya Nabila dengan tatapan nanar.

Emir menghela napas sebelum menjawab pertanyaan Nabila. Rupanya Nabila masih sama di mata Emir, masing tetap tidak mau menerima bantuan darinya.

"Kamu dengar baik-baik. Sampai kapan pun, aku tidak akan sudi membiarkan darahmu mengalir dalam tubuh anakku!" ucap Nabila.

"Tapi dia juga anakku," balas Emir.

"Apa kamu bilang? 'Anakmu', sejak kapan?" tanya Nabila menohok.

"Selama ini aku mencari-cari kalian, aku ingin bertemu anakku. Tapi kamu malah menjauhkan aku dari dia, sekarang di saat dia membutuhkan aku. Kamu mau melarangnya, di mana hati nurani kamu?"

"Kamu membahas soal hati nurani? coba tanyakan pada dirimu sendiri, di mana hati nurani seorang ayah yang tega meninggalkan putrinya hanya karena putrinya memiliki kekurangan? Coba tanyakan!"

Emir tertunduk, rupanya ucapan yang dia lontarkan malah menyerang dirinya sendiri. Emir memang bukan ayah yang baik untuk Tita, tapi saat ini Tita membutuhka bantuan dirinya. Emir harus menolong Tita meskipun harus dengan cara memaksa, itu semua demi Tita.

"Jadi gimana Pak? Apakah Bapak mau mendonorkan darah?" tanya Suster.

"TIDAK!" bentak Nabila pada Emir yang hendak mengiyakan suster untuk mendonorkan darahnya.

"Kamu sadar tidak apa yang kamu ucapkan barusan? Kamu mau Tita tidak selamat. Begitu?" tanya Emir dengan nada meninggi.

"Saya bisa cari pendonor lain, asal tidak dengan kamu!"

"Ayo Suster antarkan saya, gak usah dengerin wanita ini." Emir mengabaikan Nabila.

Nabila menarik jas Emir, kemudian dia memukul-mukul lengan Emir sembari menangis.

Dirinya sangat ingin Tita kembali kepada pelukannya, tapi tidak dengan berhutang budi pada Emir meskipun Emir memiliki hak yang sama dengannya.

"Saya gak akan sudi nerima kamu sebagai pendonor darah untuk anak saya!" bentak Nabila.

"Udah gak ada waktu lagi, Nabila!"

"Masih ada! Saya akan carikan pendonor untuk anak saya!"

"Kamu ini egois!"

"Kamu yang egois!"

"Pak, Bu. Ini Rumah Sakit, tolong di pelankan suaranya. Kasien pasien lain," tegur Suster.

BALLERINA DALAM SUNYI (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang