Berlahan mata Adam terbuka, mengerjap beberapa kali lalu tertutup lagi. Masih membiasakan diri dengan cahaya pukul sembilan pagi. Ya, seingatnya semalam dia histeris dan meninggalkan pukulan di dada secara mandiri, yah kadang Adam terlampau kesal dengan dadanya yang cukup parah, dan pada akhirnya dia mendapatkan obat penenang.
"Selamat pagi Tuan Adam Darmawangsa!!" Baru saja akan kembali istirahat, seseorang dengan sengaja membuka tirai dan membuat cahaya terang itu menerpa Adam dengan tidak ramah, silau.
"Tutup!" perintah Adam, tapi karena alasan paru-paru. Suara Adam terkadang bisa terlampau keras atau kecil, dan kali ini hampir tidak terdengar.
"How are yo today Mr.Darmawangsa?" Tata duduk di sebelah Adam menghadiahkan senyum yang benar-benar manis.
Adam membuang muka, untuk apa melayani gadis tak dikenal ini? Untuk bernapas saja kelelahan. Nassal Canula sedang digantikan masker oksigen, tiba-tiba saja Adam lebih ingin bersama sobat kecilnya itu.
"Kadonya," ucap Tata sebelum memberikan kotak yang dibalut dengan kertas kado warna biru bunga-bunga. "Nah, tadi pas di jalan ketemu ini." Tata mendecak malas karena Adam tak mau memperhatikannya. Ditariklah wajah Adam untuk menatap ke arahnya. Ingin marah tapi tak mampu, netra Adam sudah dihadiahi senyum manis.
"Bonsai." Tata mengambil tangan Adam, menuntunnya untuk ikut serta memegang replika hutan itu.
"Buat apa?" tanya Adam.
"Kado buat Mas Adam. Tante Sania bilang kamu suka pohon, aku gak bisa bawain kamu pohon. Tapi bisa bawain kamu bonsai." Berlahan tangan Adam mengambil alih bonsai hutan itu, tersenyum lalu mengawang tentang hutan.
Buku pertamanya atau bisa disebut juga buku terakhirnya ditulis saat dia berada di hutan, tempat paling menakjubkan bagi Adam yang menyukai pohon. Bentuk pohon itu bermacam-macam dan hanya Adam yang mengerti apa itu standar cantik di kategori pohon.
Pemuda yang baru saja genap tujuh belas tahun itu meletakkan bonsai di atas nakas, rela menyingkirkan beberapa barang yang dibiarkan saja jatuh di lantai.
"Adam, kamu gak pengen lanjutin cerita kamu, kah?"
"Lo ini siapa?" tanya Adam. Padahal hanya pertanyaan sederhana cukup memberikan nama. Namun, Tata berpikir bagaimana cara terbaik memperkenalkan diri.
"Tata. Pembaca paling memuja tulisan Adam Darmawangsa, terima kasih sudah menulis hal-hal baik ya." Tata mengelus rambut Adam, ingin berterima kasih pada isi kepala anak penyakitan itu. Dari sanalah tulisan terbaik itu diciptakan.
Normalnya, Adam akan marah saat ada yang melakukan hal ini. Tapi kali ini dia justru tertidur pulas dengan napas yang naik turun dengan stabil. Gadis itu tersenyum, melihat bibir kering dibalik masker oksigen yang menguap membuatnya meringis.
Semalam Tata sedikit paham tentang kondisi Adam, sampai harus memerlukan bantuan nasal canulla untuk bertahan hidup. Dia pikir ini hanya berada di film.
Matahari telah pulang, mengantarkan Tata pergi dari rumah sakit. Kedatangan dan kepergian mereka selalu bersamaan.
Keadaan Adam memang tak pernah baik, tapi setidaknya lebih baik dari pertama dia masuk rumah sakit. Laki-laki tukang marah itu bisa duduk dan membuka kotak kado dari Tata. Pun tak lupa dengan hidung bangirnya yang telah berganti nasal canulla."Dapet kado apa, Dam?" tanya Sania, dia baru saja kembali dari rumah untuk beberapa keperluan.
"Bonsai," ujar Adam sambil menunjuk bonsai hutan itu dengan matanya. Niat membuka kotak kado itu terurungkan, pasalnya Adam sedang malas berdebat soal makan jadi dia akan menurut agar sesi ini cepat selesai.
Suap demi suap menghantam lidah Adam, makanan hambar terasa pahit. Hal yang membuat lelaki itu semakin kurus dari hari ke hari.
"Bukannya hari ini kemo?" tanya Adam.
"Kita sudah tidak kemo lagi, Dam." Semakin putus asa, sepertinya kematian Adam sudah di depan mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumpang [Terselesaikan]
Teen FictionTata tidak pernah berpikir bahwa penulis favoritnya---Adam Darmawangsa, bukanlah seorang Dosen atau Dokter. Tulisannya begitu bijaksana dan indah menandakan wawasan yang luas. Faktanya, penulis itu adalah remaja seusia dengan satu paru-paru, alat ba...