Hujan sudah reda, tapi tidak dengan suasana mencengangkan dari dua keluarga kecil ini. Tubuh Adam semakin pucat, padahal Damar sudah melakukan RJP sekuat yang ia bisa bergantian dengan Galih. Tidak cukup untuk membuat detak jantung Adam kembali. Anak itu hanya menutup matanya damai dengan mulut yang sedikit terbuka.
Bahkan Damar bisa mendengar kalau ada tulang yang retak dari dalam dada anaknya. Lebih baik demikian dibanding kenyataan bahwa Adam sudah tidak ada.
Tangan Galih menepuk pundak Damar, menarik dan memeluknya seperti memberikan sebuah dukungan."Enggak, anak saya masih hidup!" tolak Damar, hampir ingin memberikan pertolongan lagi. Bahkan entah berapa kali dia memberikan napas buatan.
"Adam sudah menang." Galih berat mengatakan ini, tapi calon mantunya itu memang sudah pergi.
"Enggak! Adam sering henti napas, Pa. Ayo tolong Adam sampai ambulance datang." Sania merengek pada suaminya. Justru Damar harus terlihat rapuh di sini, karena setelah mencari nadi di seluruh tubuh Adam. Semuanya tidak ada.
Awal bulan Februari tahun ini harus diwarnai dengan Adam yang pergi. Gugur di pertempurannya dengan kanker. Setelah sekian lama akhirnya Adam susah bernapas sekarang akhirnya berhenti juga.
Setidaknya Adam punya satu pesan sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya, meski tak didengar siapa-siapa. 'Aku tidak mempermasalahkan kalau aku harus pergi hari ini, tapi kenapa aku tidak menemukan Tata lebih awal? Tidak menanam pohon dari awal. Semuanya berat untuk ditinggalkan.'
"Mas ... Mas Adam udah capek banget ya?" tanya Tata dengan rambut lepek efek kehujanan pun pun air mata yang tak berhenti turun. Tata mengambil kepala Adam, ditaruhlah ke pahanya.
"Operasinya bentar lagi, kamu sabar dong." Tata semakin deras mengucurkan air mata, membenarkan letak selang oksigen meski itu sudah tidak berguna lagi."Mas Adam, Tata mohon. Katanya mau lihat Jenggala besar," ujar Tata berderai air mata. Emosi Tata benar-benar kacau, dia mencubit-cubit perut Adam. Dengan harapan jika ini bercanda Adam akan bangun dan meringis kesakitan, Tata mencubit sekuat yang dia bisa. Memangnya kapan Adam pernah bercanda?
"Ta, udah." Ibu Tata memeluk tubuh anaknya.
___
Mimpi, semua ini pasti mimpi. Buktinya hutan kemarin terlihat berkali-kali lipat lebih indah. Semuanya terlihat hijau segar ditambah angsa di tengah danau, udaranya sejuk, dan tak ada halangan apapun. Pasti itu mimpi.
Tata membuka matanya, pemandangan pertama yang dia lihat adalah plafon merah muda. Dia menghela napas, berarti hanya mimpi. Tata meraih ponselnya, segera menghubungi Adam. Ingin mengadu pasal mimpi buruknya yang membuat badannya panas sekarang.
"Mas Adam? Aku mau ketemu aku kangen banget. Aku mau peluk Mas Adam sampe bunyi." Seseorang yang mengangkat telepon lama sekali menjawab.
"Tata kesini aja. Sebentar lagi upacara pemakaman Mas Adam, dia ganteng banget, Ta pake jas hitam." Jantung Tata berdetak seperti bom. Napasnya memburu, ini semua bukan mimpi.
Ponsel itu terjun bebas ke kasurnya, berarti dia pingsan setelah menyaksikan Adam meregang nyawa. Tata mengusap air matanya lantas menangis lagi, lelah sekali kalau punya jumlah air mata berlebihan.
"Iya, Tata harus ucapin sesuatu. Mas Adam minta gitu, tungguin Tata, ya, Ma?" Tata kembali merengkuh ponselnya. Setelah persetujuan Sania, Tata mencuci mukanya.Wajahnya bengkak, air mata tidak bisa berhenti turun, warna kulitnya menjadi merah.
"Mas Adam, maafin Tata nggak bisa cantik di acara penting Mas Adam."---
Adam Darmawangsa.
Umurnya 17 tahun, sudah melawan hal sebajingan Kanker Paru-paru selama bertahun-tahun.
Tidak akan saya serahkan kepada siapa-siapa. Ke gadis manapun, secantik apapun, secerdas apapun, dan seterbaik apapun untuk Mas Adam. Tidak akan saya serahkan! Namun, pada akhirnya saya harus menyerahkannya kepada Tuhan.
Saya Chandrika Calista, jatuh cinta hanya dalam beberapa kejap mata. Bagaimana tulisan Adam hidup meski dia kesulitan hidup. Saya akan merekomendasikan buku beliau bahkan jika Anda tidak bertanya.
Pemuda yang peduli dengan kelangsungan hidup kita semua. Pemuda yang sempat menanam pohon di penghujung usianya, merawat jagad, menyusun aksara terindah yang belum pernah saya baca sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumpang [Terselesaikan]
Teen FictionTata tidak pernah berpikir bahwa penulis favoritnya---Adam Darmawangsa, bukanlah seorang Dosen atau Dokter. Tulisannya begitu bijaksana dan indah menandakan wawasan yang luas. Faktanya, penulis itu adalah remaja seusia dengan satu paru-paru, alat ba...