12. Bunga Terakhir

966 56 20
                                    

Berangkat sekolah tadi Adam buru-buru, takut telat meski sebenarnya telat bukanlah hal yang fatal bagi peserta didik. Membuat Adam lupa mengganti tabung oksigennya, alhasil di jam ke tiga dia berhenti bernapas karena kawan kecilnya sudah kehabisan oksigen.

Mata Tata basah, bengkak, dan merah. Takut Adam sudah selesai sebelum permintaan mereka seluruhnya terwujud, atau sebenernya Tata takut kalau Adam akan mati meskipun semuanya telah selesai. Intinya, Tata takut Adam pergi untuk selamanya.

---
Bukan Adam Darmawangsa namanya jika tidak bercanda dengan nyawa. Setelah berulang kali membuat dokter kewalahan akhirnya Adam menang lagi (untuk beberapa waktu).

Pemuda itu terlelap dengan mulut yang terbuka, seakan masih mencari oksigen lainnya. Tangan lunglai itu digenggam oleh gadis cantik yang akhir-akhir sedikit membuat Adam berwarna. Ralat, sangat berwarna.

Suara sedot ingus Tata sejujurnya membuat Adam terusik. Atau seharusnya kita berterima kasih karena membuat Adam bangun dengan suara berisik itu.

"Ta."

"Ya, Mas?" Tata bersemangat, senyumnya berseri-seri meskipun air matanya tetap mengalir.

"Semua ceritanya sudah tamat ya. Boleh pergi belum?" Suara lirih Adam disahuti dengan suara tangisan Tata yang semakin kencang. Orang tua Adam datang tergopoh-gopoh karena mendengar jeritan Tata.

"BELUM! Gak boleh, Mas Adam masih punya satu cerita lagi yang masih rumpang. Dan sisanya masih ada seribu yang belum ditulis, Mas Adam harus tetap di sini." Tata menggenggam tangan Adam jauh lebih erat. Tangan lunglai itu sama sekali tidak membalas.

"Kita putus ya?"

"Lhaaaa jancok kon! Kita baru jadian dua hari masa putus?" Tidak hanya Adam, kedua orang tua Adam pun tidak percaya kalau Tata bisa mengeluarkan kata kasar dari kota asli Adam.

"Aku takut nyakitin kamu, Ta. Kamu pasti nangis lebih kencang lagi kalau aku pergi."

"Sakit? Mas, kamu nyakitin aku setiap hari. Kenapa kamu takut nyakitin aku? Setiap penolakan kamu itu nyakitin aku! Setiap keputusasaan kamu itu nyakitin aku, dan kamu mutusin aku itu lebih sakit dari aku benar-benar kehilangan kamu. Aku sudah tidak takut sakit lagi, Mas." Tata hilang kendali, akhirnya beban yang selama ini ditumpuk dia keluarkan ke objek yang tepat.

Keluhan Adam terus berkelanjutan, mulai dari gagal napas sampai nyeri yang menusuk-nusuk dadanya bergantian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Keluhan Adam terus berkelanjutan, mulai dari gagal napas sampai nyeri yang menusuk-nusuk dadanya bergantian.
Tidak ada yang dikatakan oleh Sania hari ini. Bahkan, dia tak mengingatkan Adam makan. Pemuda itu ingin marah karena perasaannya sedang tidak baik. Tapi urung karena melihat sang Ibu yang hanya menatap kosong dinding kamar rumah sakit.

"Ma?" tegur Adam pada Ibunya yang tak kunjung mengalihkan pandangan.

"Ma, sesek." Setelah mendengar keluhan barulah Sania beranjak. Siap siaga menaikan posisi ranjang

"Udah?" tanya Sania memastikan anaknya cukup nyaman.

"Mama kenapa?" Pertanyaan yang sudah dapat diprediksi. 'kenapa?'.

Rumpang [Terselesaikan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang