Termenung di atas rooftop. Duduk menikmati semilir angin malam, selagi masih bisa menatap dunia Adam melakukannya. Dia masih takut tentang kematian, padahal setelah Hana pergi rasanya lebih baik jika urusan di dunia ini diselesaikan. Sekarang kenapa malah takut pergi? Pertunjukan terbaik apa yang harus Adam lakukan untuk terakhir kalinya. Pikiran abstrak itu membuat pandangan Adam kabur.
Hampir saja ambruk dan jatuh dari lantai sembilan belas kalau tidak ada tangan kokoh yang menahan tubuhnya.
"Sudah malam kenapa malah ke kantor? Jemput Papa?" tanya Rian, yang diketahui salah satu karyawan di sini. Sedikit informasi, dia adalah Kakak Hana."Ngecek aku masih takut tinggi atau nggak." Adam meminum teh jahe hangatnya.
"Hasilnya?" tanya Rian ikut bergabung.
"Lebih takut mati rupanya." Setelah itu suasananya menjadi sunyi. Rian juga tidak tahu harus berbicara apa. Anak kuat ini bisa lebih lama hidup daripada Hana, padahal rasa sakit yang dirasakan Adam dinyatakan lebih parah.
"Kamu sudah tahu belum selain orang tersial di dunia, kamu juga orang yang paling beruntung." Adam membiarkan Rian terus bercerita meski hening adalah yang dia cipta.
"Paling sialnya kamu punya paru-paru rongsokan. Paling beruntungnya kamu adalah Adam Darmawangsa, ayahmu punya segalanya. Kedua orang tua kamu sayang sama kamu, gak pernah gagal urusan cinta." Adam tersenyum mendengarnya, hari ini tidak sesak napas jadi perasaannya pun tidak sensitif.
"Kalau ayahku gak punya apa-apa, broken home, terus Tata selingkuh. Sama aja kayaknya aku juga gak bisa napas."
___
"Mas Adaaaaaam! Bangun, kita ada misi paling penting sedunia." Saat membuka mata pemandangan pertama yang Adam lihat adalah Tata. Pusing sekali rasanya kalau dibangunkan tidak manusiawi seperti ini.
Adam tersedak, terbatuk-batuk setelahnya. Menyingkirkan tubuh Tata agar dia bisa duduk. Dadanya dielus kuat, meminta dadanya untuk bekerja sama.
"Mas Adam?" tanya Tata merasa bersalah. Tangan kanan Adam terangkat, artinya tunggu sebentar.Tata memberikan minum, membantu Adam meredakan batuknya tapi hasilnya air itu malah terlempar lagi keluar dan batuknya tetap tidak berhenti. Sesekali Adam meringis karena setiap sakit rasanya seperti ada yang berlubang di paru-parunya.
"Mas Adam maafin aku." Tata menangis. Adam memuntahkan darah tanpa sengaja. Mata bola Tata terbelalak, panik sekali rasanya. Ingin berteriak tapi Adam mencekal tangannya.
"Udah biasa, nggak apa-apa." Adam mengambil tisu dan membersihkan mulutnya. "Maaf ya, I guess Iam so disgusting."
Tata menggeleng, membersihkan sisa darah diujung bibir pucat Adam.
"Enggak, aku nggak jijik. Maaf, lain kali aku banguninnya pelan-pelan.""Kamu bolos?" tanya Adam.
"Izin. Soalnya ada hal besar yang akan Tata lakuin sebagai volunteer." Adam tersenyum, mengelus rambut Tata yang mulai tumbuh melewati bahu. Senyum gadis ini adalah yang paling manis.
"Apa?" tanya Adam.
"Ayo." Tata menarik tangan Adam pelan, membiarkan anak yang dia genggam mempersiapkan alat bantu napasnya.
__
Satu hektar tanah di pinggiran kota, mayoritas ditumbuhi dengan pepohonan cemara. Rencana lahan ini akan digunakan sebagai gerakan Jakarta peduli hutan. Banyak orang di sini, mereka mulai menggali dan menanam berbagai macam pohon.
Ada pohon mangga, cemara, sampai pohon pinus. Adam tersenyum menatap mereka semua, jangan lupakan sebuah spanduk besar mengenai acara ini. "1000 pohon untuk Adam."
"Die present?" tanya Adam ke Tata. Apa ini persembahan untuk kematian?
"Ish!" Tata mencubit lengan Adam. Gubernur datang dan memberikan sebuah jabat tangan ke Adam.
"Adam Darmawangsa?" tanya pria dewasa itu sambil tersenyum meski di sorot matanya Adam bisa baca kalau ada tatapan iba.
"Iya. Saya Adam.".
"Terima kasih telah menjadi pemuda yang peduli akan lingkungan. Lahan ini Mas Adam beli secara pribadi dan dampaknya bisa membantu kota kita." Pasti itu pekerjaan Damar, dengar-dengar daerah sini akan dijadikan pabrik gula. Tapi, tiba- saja dijadikan hutan yang mulai sekarang dipanggil Hutan Adam.
"Iya, Pak. Saya berterima kasih juga Bapak berkenan hadir."
---
Adam bahagia sekali meski dia tahu pasti semua ini karena dia hampir mati. Dia mengambil sekop dan bibit pohon pinus.
"Ta, ayo sini." Adam memanggil Tata, dan yang bersangkutan hanya mengikuti perintah."Sini biar aku yang bawa." Tata mengambil alih bibit Pinus dan skopnya, karena dengan menarik tabung berat itu cukup membuat Adam kesulitan.
Di dekat lokasi reboisasi ada sebuah genangan air yang jernih. Seperti danau cantik yang akan menjadi hutan di piknik mereka besok hari Minggu. Tata tersenyum dan bertepuk tangan, pemandangannya benar-benar membuat dia bahagia, sejuk dan nyaman.
Adam mulai menggali dengan sekop, tanahnya subur jadi sangat mudah untuk digali. Tangan kurus Adam menepuk-nepuk tanah agar padat dan menopang pohon pinus kecil itu dengan baik.
"Nanti kita sama-sama ditanam ya? Bedanya kamu makin hidup dan aku makin hilang," ujar Adam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumpang [Terselesaikan]
Teen FictionTata tidak pernah berpikir bahwa penulis favoritnya---Adam Darmawangsa, bukanlah seorang Dosen atau Dokter. Tulisannya begitu bijaksana dan indah menandakan wawasan yang luas. Faktanya, penulis itu adalah remaja seusia dengan satu paru-paru, alat ba...