Pukul satu pagi setelah kembang api tahun baru meledak di udara satu jam yang lalu, Adam masih di ruang kerja Ayahnya. Sebenarnya, tidak ada yang paham kalau anak itu masih terjaga di malam hari dan tengah mengerjakan sesuatu seperti ini, pasalnya batuk Adam benar-benar mengganggu.
"Dam? Belum tidur?" tanya Sania yang menyadari putranya pasti kelelahan di sini, napas Adam juga pendek-pendek sekali bersamaan dengan batuk yang hampir tak memberi sang empu jeda.
"Bentar lagi, Ma." Biasanya remaja belia itu akan tidur setelah makan malam, atau mungkin rutinitas Adam adalah tidur. Tangan kurusnya bergetar membawa beberapa lembar kertas yang cukup banyak, ingin dia jilid katanya tapi karena Adam sudah bekerja seharian ini tangan gemetar itu membuat tumpukan kertas hvs yang baru keluar dari mesin cetak itu jatuh berhambur.
Damar segera memungut kertas-kertas itu sambil mengelus pundak anaknya. Ini bukan kesalahan Damar, tapi entah kenapa setiap kali berhadapan dengan Adam pria itu selalu merasa bersalah.
Apa Damar telah menjadi Ayah yang gagal?Kalau saja Damar tidak membuat contoh yang buruk seperti 'merokok' maka putranya mungkin tak akan seperti ini. Setidaknya itu adalah salah satu pemacu Damar untuk sabar menghadapi Adam.
"Biar Papa yang jilid, ya? Ini untuk apa?" tanya Damar.
"Buat Tata, besok piknik. Dia nagih cerita itu." Mungkin itu bukan cerita soal Hazel, tapi Adam punya sebelas cerita rumpang. Rencananya akan Adam selesaikan semua demi Tata.
"Iya, Papa yang jilid. Adam istirahat. Biar besok bisa piknik tanpa ada halangan." Sepayah itu ya? Hanya mencetak dan menjadikannya buku kenapa itu harus membuat seorang laki-laki lelah?
Tak mau kehilangan semangatnya lagi, Adam menurut. Tidur dan besok bertemu Tata di hutan.Tikar pandan dan beberapa kain satin digelar di atas rerumputan. Suasana alamnya sangat kental, Adam tersenyum melihat pohon-pohon di sekelilingnya. Ada burung-burung berkicau dan bertengger di atas dahan, sayang dengan udara sesegar ini pun Adam tidak bisa bernapas tanpa membawa tabung oksigennya.
Pemuda itu melepas alat bantu napas miliknya dan menarik napas dalam-dalam, ingin merasakan rasanya udara hutan. Namun, itu hanya menjadi hal konyol. Dia tidak bisa menghirup apapun, tidak apa-apa remaja belia itu tetap menikmati suasananya. Dengan kembalinya nasal canulla, Adam mulai mengeluarkan satu persatu makanan dari keranjang piknik. Sembari menunggu Tata yang mungkin akan datang terlambat.
Satu jam
Dua jam
Tiga jam
Empat jamAdam masih tidak beranjak dari tempat. Entah berapa kali ia meneliti tulisan di dalam buku yang masih terlihat seperti proposal itu, untuk mengusir suntuk menunggu Tata. Jujur, sekarang Adam mulai muak.
Hujan? Apa ini tidak terlalu dramatis? Tapi sekarang hujan tengah mengguyur tubuhnya. Adam membanting buku di genggamannya dengan emosi. Kecewa akan banyak hal tentu saja, siapa yang tidak kecewa saat seorang teman melanggar janjinya? Pertemuan ini sudah dipersiapkan semaksimal mungkin oleh Adam, ternyata begini rasanya semangat sendirian.
Badan Adam basah kuyup, suhu hujan membuatnya menggigil. Napas Adam berebut keluar masuk, antara paru-parunya yang terhimpit atau kesal dengan Tata. Keduanya mengaduk isi dada cacat milik Adam.
Sebuah payung membuat Adam terpaksa mendongak mencari tahu siapa pembawa payung itu. Sungguh mengecewakan kala tahu itu Damar.
"Tata belum datang? Ayo berteduh, yuk!" Damar sedikit mengeraskan suaranya, karena hujan deras ini benar-benar membuat suaranya terbungkam.
Adam menangis saja sekalian, pun tersamarkan oleh air hujan. Adam lelah, ia merebahkan saja tubuhnya. Pasrah akan keadaan karena napasnya pun sudah berhenti total."Ayo, Dam!" teriak Damar.
"Hahhh hah emmmh!" Bernapas dengan susah payah plus sensasi terbakarnya hadir lagi, kemudian badan itu melemas dan terlelap.
Damar melempar segera payungnya, mengangkat anak semata wayangnya lalu berlari ke mobil.Hujan deras juga mengguyur rumah Tata, gadis itu sudah panik bukan main. Hari ini adalah hari di mana mereka berjanji akan bertemu dan berpiknik di hutan, Adam juga berjanji akan memberikannya sesuatu, tapi yang lebih menguasai otak Tata saat ini adalah; apakah Adam baik-baik saja?
Sebuah keributan datang di ruang tamu, dengan segera Tata turun karena mendengar suara ayahnya yang berteriak memberi peringatan. Mata Tata terbuka lebih lebar kala menyadari bahwa Damar yang datang, dengan kemeja semi basah nan bersulut api marah. Padahal bagi Tata, Damar adalah laki-laki paling sabar dan hangat di bumi.
"Kamu tahu bagaimana Adam mempersiapkan segala hal untuk hari ini?" tanya Damar, matanya merah entah karena habis menangis atau karena marah.
"Kenapa Anda menyalahkan putri saya?" tanya pria berkumis seusia Damar itu sembari menarik kerah.
"Putri Anda tidak konsekuen!" bentak Damar, "begitu cara Anda mendidik anak? Membiarkan dia lalai akan janji-janjinya? Atau mempermainkan anak yang sekarat sampai mati?" Damar hilang kendali rasanya.
"Om...," lirih Tata, takut tapi merasa memang dia layak mendapatkan ini.
"Sialnya itu anak saya, anak saya yang sekarat. Andai Anda jadi saya, mungkin punya cara yang lebih bijaksana dibandingkan seperti ini." Ingin menangis saja rasanya, ingin menghancurkan hal-hal yang Damar lihat.
"Maaf, hp sama kontak motor Tata disita, Om. Dompet juga." Tata hanya menunduk.
"Sorry is a bad habit. Sekarang anak saya mengalami hari yang berat. Maafin Adam kalau punya salah, nggak tahu kalo kesalahan kamu dia maafin atau nggak."
"Maksud om apa?" tanya Tata, mencoba berpositif thinking tapi sedang tidak bisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumpang [Terselesaikan]
Teen FictionTata tidak pernah berpikir bahwa penulis favoritnya---Adam Darmawangsa, bukanlah seorang Dosen atau Dokter. Tulisannya begitu bijaksana dan indah menandakan wawasan yang luas. Faktanya, penulis itu adalah remaja seusia dengan satu paru-paru, alat ba...