16. Waktu

865 58 20
                                    

Setelah menanam pohon Adam tergeletak lelah di kamarnya. Sempat mengalami napas yang putus-putus, tapi sekarang semuanya dapat dikendalikan. Tidur setengah duduk dengan kipas angin di depannya, tubuhnya merasa gerah jadilah Adam harus telanjang dada. Kulit putih itu seakan membuat sayatan di dadanya terlihat jelas.

"Enggak mau ketemu Tata?" tanya Sania. Adam menggeleng dengan tubuh lemas, rasanya lelah mondar-mandir untuk menanam seribu pohon meski hanya 3 pohon.

Ada wanita tua yang tak dapat menahan tangisnya. Memijit tumit dan pergelangan kaki Adam yang dikeluhkan lelah luar biasa, wanita yang telah menjaga Adam dari kecil itu merasa semua ini tidak adil. Ingin marah pada Damar yang membuat anaknya kelelahan tapi tak cukup punya nyali.

"Ma ... mau tidur. Dipeluk Mama." Hati Sania seakan melayang. Adam tidak pernah suka disentuh olehnya atau siapapun. Dielus rambutnya saja akan diberikan tatapan membuhuh.
Sania menurut, ia beringsut naik dan memeluk tubuh anaknya yang rapuh. Selama ini hanya Tata yang berani memeluk tubuh Adam erat.

"Mama di sini. Kamu mau ke rumah sakit?" tawar Sania, barusan ia telah adu mulut dengan Damar terkait ini.

"Enggak, aku cuma capek. Enggak sakit," ucap Adam. Dari suara napas saja bisa membuat Sania merasa teriris.

"Adam mau apa?" tanya Sania sambil terisak.

"Ceritain dongen, Ma." Adam menarik napas dengan susah payah. Sania Ingin menangis sekencang-kencangnya, tapi tidak bisa.

"Dongeng?" tanya Sania, mengingat dulu Adam tidak akan tertidur tanpa dongeng darinya. Melihat napas Adam yang semakin sulit itu, Sania khawatir kalau kali ini bukan sekadar dongeng pengantar tidur.

"Ya." Adam mulai susah bernapas lagi, ibunya berinisiatif menambah satu bantal lagi di punggung Adam.

"Okay. Mama punya dongeng. Judulnya Bulan dan Bumi." Karya karangan bebas nan tak beralur itu sukses membuat Adam memejamkan mata. Napasnya teratur, jujur saja Sania tidak bisa mengalihkan pandangannya dari dada Adam. Mengawasinya kalau-kalau saja tiba-tiba berhenti.

Sania mengecup pipi Adam, sekali dua kali atau berkali-kali. Untung tak mengusik tidur Adam, atau sebenarnya anak itu tau tapi membiarkan saja.
Adam tak sengaja melenguh kala dadanya terhujam. Kanker sialan batinnya, itu membuat Sania semakin menangis kencang.

___

Senja dan atap rumah adalah tempat dan suasan indah bagi Damar untuk merokok. Dia harus buru-buru menginjak putung rokoknya kala sadar manusia dengan selang oksigen itu menghampirinya.

"Sudah bangun?" tanya Damar, seingatnya tadi anak tunggal itu tidur lelap.

"Boleh gabung, Pa?" tanya Adam, belum disetujui pun ia duduk di samping ayahnya. Ikut menikmati semburat jingga yang ada di hadapannya. "Papa tuh udah tua jaga kesehatan dong, sakit tuh gaenak." Adam mengambil botol hijau cap orang tua di depan Ayahnya, lantas mengambil alih satu gelas anggur merah dan meneguknya sampai tandas.

"Adam. Kamu jangan minum alkohol." Damar merebut botol alkoholnya dari tangan Adam. Kalau ketahuan Sania, Damar bisa tewas lebih dulu.

"Adam mau adek dong, Pa." Celetukan itu membuat Damar tertegun. Pasalnya, selama ini Adam tidak pernah meminta adik. Ditambah sejak dua tahun lalu difokuskan pada kesehatannya.

"Buat apa?" tanya Damar.

"Teman." Adam tersenyum, mempamerkan dua lesung di antara kulitnya yang pucat pasi.

__

Dini hari, sekitar pukul tiga pagi Adam terbangun dan harus buru-buru ke kamar mandi. Batuknya yang hampir tak berhenti membuatnya mual.
Adam mengeluarkan darah kental dari mulutnya, diikuti dengan rasa sesak yang langsung menghantam.

Tidak boleh begini, hari ini dia harus menemui Tata di hutan Adam. Setelah membersihkan mulut, Adam meminum beberapa obat yang memang harus dia minum kala penyakitnya kambuh.

Tapi tetap saja Adam muntah darah. Membuat kulit pasinya semakin menjadi-jadi.

"Dam, Adam yang kuat!" Tangan Adam mengepal kuat.
Karena kesal Adam memukul saja dadanya sendiri.

Intinya, besok harus kuat untuk piknik dan besoknya lagi akan di rumah sakit untuk menjalani perawatan pra operasi. Intinya rencana Adam seperti itu.

---
"Tenang aja, Ta. Fajar dulu juga operasi kok, dan aman. Coba kalau enggak berantem sama si brengsek itu, Fajar ga akan infeksi. Intinya jaga aja Adam setelah operasi." Suara itu sangat menenangkan, Tata mendengarkan Disca dengan seksama di telponnya. Ia tersenyum lalu mengangguk.

"Okay, Kak Disca. Hari ini aku mau piknik sama Adam. Ini mimpi dia banget loh. Aku harus cantik banget nggak, sih?" Tata berkaca sambil menekan tombol loud speaker dari ponselnya. Tata memberikan sentuhan di bibirnya, lipglos yang membuat bibirnya terlihat sangat sehat.

"Iya, pake baju putih ya. Biar estetik." Di sini ada seseorang yang sangat optimis. Meski Adam sangat takut dan bahkan hampir tidak mau memikirkan soal operasi.

Bibir Tata melengkung ke bawah kala ada pesan masuk.

Bibir Tata melengkung ke bawah kala ada pesan masuk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Double update buat kecingtaanku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Double update buat kecingtaanku

Rumpang [Terselesaikan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang