09 ; space.

30 4 0
                                    

"Uang dibayar uang, mata dibayar mata, nyawa dibayar nyawa" - Daniel

_______________________________________


"AAAAAAAAAAAAARGHH!!!"

Jeritan demi jeritan berhasil menggema di seluruh penjuru ruangan. Memperlihatkan seseorang tengah menyayat, sedikit demi sedikit kulit yang berada di pinggiran kuku.

Sang korban dari pelaku terus menjerit dengan keadaan badan terikat diatas kursi. Dengan mata yang ditutupi oleh kain berwarna hitam, membuat dia tidak tau siapa pelaku dibalik penyiksaan ini.

"ANJING! LO SIAPA HA? LEPASIN GUE!!" teriak orang itu, membuat pemuda di depannya merasa tidak nyaman. Telinganya sangat sensitive, membuat suara siapa aja terdengar tidak enak.

Tanpa basa-basi dia langsung memberikan bogem mentah pada sandranya, membuat orang itu terdiam seketika. Dengan rasa sesak yang teramat di area uluh hatinya, sang korban pun terbatuk-batuk.

Merasa tidak puas dengan apa yang dia lakukan kurang menyiksa, lantas pemuda itu kini mengambil air yang sudah dicampur oleh garam sebelumnya.

Dia mulai menyiramkan air itu pada luka orang tersebut, membuat jeritannya semakin menjadi-jadi hingga suaranya terdengar memenuhi seisi ruangan.

Mendapatkan siksaan tersebut, sang korban langsung tak sadarkan diri. Sedangkan sang pelaku terlihat kecewa, karna merasa hawa nafsu menyiksa kurang terpenuhi.

Dengan tanpa belas kasih, dia kemudian menampar orang tersebut hingga akhirnya tersadar.

"Nae ap-eseo yaghan salam-eul bogo sipji anh-ayo!" hardik pemuda ituberkata jika dia tidak ingin melihat orang yang lemah di hadapannya, membuat orang yang terikat terpaksa menelan ludah karena takut.

Dia benar-benar berdoa, agar seseorang bisa menyelamatkannya, tapi itu semua sangat amat mustahil, karena dia sudah terjebak dalam permainan seorang 'psychopath'.

***

Di sekolah, Nathan datang bersama ibunya. Dia bersyukur jika yang datang adalah sang ibu, karena jika ayahnya yang datang, bisa dipastikan itu akan menjadi hari yang paling buruk untuk Nathan.

Dengan langkah gemulai, dr. Heera mulai mendekati putranya, dengan senyum hangat yang membuat siapapun akan merasa tenang, termasuk Nathan dan yang lainnya.

"Bunda udah ngomong sama Hyun seonsaengnim. Katanya kamu cuman dapet skorsing aja satu sampe dua hari. Bunda juga mau bawa barang buktinya, biar tau siapa yang bersalah. Bunda tau kok kayak gimana putra bunda." jelas dr. Heera dengan senyumnya membuat Nathan sedikit lebih lega.

Pemuda itu hanya mengangguk, kemudian dr. Heera pergi dengan membawa barang bukti ke Rumah Sakit miliknya, sekaligus memberikan barang bukti pada tim forensik untuk mencari tau kebenarannya.

"Terus, sekarang lo mau kemana, Niel?" tanya Arzan.

"Ga tau. Paling pulang, main ps udah." jawab Nathan sambil memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana.

"Gua ikut ya Niel? Lagi males, sumpah." ujar Zion yang menyenggol lengan Nathan, membuat pemuda itu sedikit tidak menyukainya.

Para gadis hanya bisa terdiam, pasalnya mereka juga ingin bolos. Namun, mereka tidak bisa begitu saja meninggalkan catatan merah dalam absen, karena itu akan merusak reputasi mereka.

"Kalo kalian mau ke rumah, plis jangan nyampah! Nanti ayah marah." tegas Arsya yang mendapat tatapan dingin dari Nathan.

"Ye. appa adeul!" sindir Nathan membuat Arsya sedikit kesal.

SIDES! : something no one knows • On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang