"Inilah yang kau dapat."
Dengkuran halus yang berasal dari Dhafin masih terdengar oleh Raka, mengguncangkan tubuh itu dengan tidak santai.
Dhafin perlahan membuka matanya. "Hah? Apa?" Bingungnya sambil mendudukkan tubuhnya.
Raka menatap Dhafin dengan gelisah, Dhafin menyadari itu. "Keluar, yang lain udah nunggu." tanpa menunggu balasan dari temannya, Raka melenggang pergi meninggalkan Dhafin yang kebingungan.
Dengan cepat, Dhafin berniat mencuci wajahnya terlebih dahulu. Setelah selesai menyegarkan wajahnya, Dhafin keluar dari rumah Arisha dengan langkah santai.
Sesampainya di depan, Dhafin mengerinyit heran melihat yang lain menatapnya dengan sendu.
"Kenapa kalian natap gue kayak gitu ... Ada yang gugur, ya?" Tebak Dhafin.
"Paman Hartigan, i-itu dia si Leroy---"
"Paman Hartigan gugur, Fhin." sela Arisha, memotong ucapan gugup dari Tiger.
Dhafin terdiam, membuat yang lain juga terdiam. Dia tertunduk dalam, perasaannya kali ini terasa campur aduk. "Jadi, ini hukuman, Leroy." bukan pertanyaan yang Dhafin lontarkan, melainkan pernyataan.
Raka menepuk pelan bahu Dhafin, menguatkan sang teman atas kepergian Ayahnya. Raka tahu, Dhafin pasti sudah sangat menyayangi Hartigan, sangat kentara dari tatapan matanya.
"Kita kesana ya? Temuin Ayah gue untuk yang terakhir kalinya."
***
Bahu yang tadinya sudah rapuh kini merosot, ekpetasi Dhafin untuk ikut andil dalam mengantarkan sang Ayah menuju peristirahatan terakhirnya itu lenyap sudah.
Ternyata sang Ayah sudah tiada dihari dia dan yang lainnya kabur, ah! Tepatnya ketika mereka menginap di rumah Arisha.
Tidak lama setelah Hartigan di temukan tewas, pada saat itu juga jasadnya langsung di bersihkan lalu di makamkan.
Dhafin memeluk Vita, tanpa sadar air matanya ikut turun karna mendengar raungan sang Ibunda yang masih tidak mempercayai gugurnya sang Suami tercinta.
Bug! bug!
"Ibu, istighfar!" melihat Vita yang memukul dengan keras dadanya, Dhafin panik.
"AYAHMU MATI DHAFIN! IBU JUGA HARUS MATI! KITA SUDAH BERJANJI UNTUK MATI BERSAMA!! IBU HARUS NYUSUL AYAHMU!!!" Raungan Vita yang terus memukul dadanya yang sesak bukan main.
Dhafin menahan tangan Vita, lalu memeluknya dengan erat. "Ibu, gak mikirin, Dhafin? Ibu, tega ninggalin Dhafin, sendirian?" Lirihnya tepat ditelinga sang Ibunda.
Mendengar bisikan lirih dari anaknya, Vita mulai sadar. Memeluk balik putranya dengan erat, tentu saja dia tidak akan tega meninggalkan, Dhafin.
"Maafin Ibu, nak. Walaupun hati Ibu sesak dan sakit, Ibu akan berusaha bertahan buat Dhafin."
Melihat Vita melepaskan pelukan, Dhafin tersenyum menatap Ibunya. "Ibu, harus istirahat."
Melihat anggukan dari Vita, Tanaya dan Alie mengajukan diri untuk mengantarkan Vita kekamar.
Setelah Vita hilang dari pandangan Dhafin, dia menoleh kearah semua temannya yang sedari tadi diam tidak berkutik.
"Gue butuh penjelasan." tuntut Dhafin sambil menatap, Kyler.
Kyler mengangguk, ia menghela nafas terlebih dahulu. "Tidak ada luka sedikitpun. Seperti yang kau duga ini semua ulah Leroy, dia menyerang Hartigan dari dalam. Semua organ dalamnya rusak, entah dengan ilmu hitam apa yang Leroy gunakan." terangnya dengan singkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Łingga [END]
Fantasy[END] ''Kita lihat, apakah mereka bisa kembali?'' Kenapa sembilan manusia itu lebih mementingkan keinginan daripada memikirkan risikonya terlebih dahulu? HIGH RANK. #2 in Kazuha 19/11/2022 #1 in Eunchae 23/12/2022 #1 in Alam 24/12/2022 #1 in Minju 1...