Happy reading.
>><<
Seorang laki-laki bertubuh kekar itu menggoyang gerbang berwarna hitam hingga menimbulkan suara bising yang bisa di dengar dari dalam rumah. Si pemilik rumah meringkuk ketakutan di balik daun pintu yang sudah ia kunci dan ia tahan menggunakan sofa panjang yang berada di ruang tamu.
Dengan tangan gemetar, pemilik rumah tersebut merogoh sakunya untuk mengambil benda pipih dan mulai menelpon seseorang untuk membantunya.
"Dhit, tolongin gue," ucapnya masih dengan tangan yang gemetar dan suara yang terdengar ketakutan.
Ia melihat keluar dari kaca jendela, laki-laki itu sudah berhasil memanjat pagar dan mulai mendekat ke arah pintu utama rumahnya.
Brak!
"Buka!" teriak laki-laki berbadan kekar itu sambil terus mendobrak pintu.
Renata menelan ludahnya, tubuhnya gemetar dan bulir-bulir air mata mulai membasahi pipinya. Ketakutan.
"Gue bilang buka!!"
Brak!
Lagi-lagi orang itu menendang pintunya dengan sangat keras. Sekarang pukul dua dini hari, tetangga gadis itu mungkin saja masih tertidur lelap dan tidak menyadari jika Renataa sedang berada dalam bahaya.
Renata sudah tidak mendengar suara laki-laki itu di balik pintu rumahnya, ia mengintip keluar dan benar, laki-laki itu sudah tidak ada di depan rumahnya.
"Mau lari ke mana lo sekarang."
Renata tercekat dan mundur beberapa langkah hingga punggungnya sudah terbentur oleh tembok, tenggorokannya kering sampai membuatnya sulit untuk teriak.
"Ris, tolong lepasin gue."
"Lo gak usah takut, Re, gue gak bakal nyakitin lo."
Laki-laki itu membekap mulut Renata dan membawanya keluar dari rumah itu. Sedangkan Renataa sama sekali tidak melakukan perlawanan apapun karena takut jika Haris akan menyakitinya lebih parah lagi daripada sebelumnya.
"Woy brengsek!!"
Haris menatap laki-laki yang baru saja datang dengan tergesa-gesa, wajahnya panik.
"Dhit, tolongin gue," ucap Renata ketakutan.
Haris lengah, gadis itu lepas dari penjagaannya dan berlari ke belakang punggung Adhit. Emosi laki-laki itu semakin menjadi-jadi. Haris memukul Adhit tepat di pipi kirinya dan di balas tanpa ampun oleh Adhit.
Bugh!
Pukulan terakhir laki-laki itu mendarat tepat di perut Haris yang membuat laki-laki berbadan kekar itu tersungkur ke tanah. Ia kalah.
Tanpa sepatah katapun, Haris bangkit dengan sisa tenaga yang ia punya dan berjalan menuju mobilnya yang terparkir di depan gerbang. Sebelum membuka pintu mobilnya, laki-laki itu sempat menatap Adhit dan Renata dengan tatapan penuh kebencian.
"Masuk dulu, Dhit. Gue bantuin lo bersihin lukanya," ucap Renata masih dengan tubuh yang sedikit gemetar.
Adhit memegang luka di pipinya dan mengikuti gadis itu yang menyuruhnya duduk di halaman rumahnya.
"Sorry, ya, Dhit."
"Untuk apa?"
"Sorry, karena harus ngerepotin lo lagi."
"Lo tau gue gak akan pernah merasa direpotin sama lo, Re."
" .... "
"Gue cabut, kalo ada apa-apa kabarin gue."
•••
"Ann, Diandra di mana?" tanya Adhit ketika ia tidak melihat Diandra di kelas maupun di sepanjang jalan menuju kelasnya.
Dengan tatapan sinis, Ann bangkit dari tempat duduknya dan menatap Adhit dengan tatapan tajam.
"Mau lo apa sih, Dhit?" tanya Annastasya dengan nada menantang.
Adhit mengerutkan keningnya bingung. "Maksud lo?"
"Lo pacaran sama Diandra cuma untuk jadiin dia pelampiasan lo doang, kan?"
"Ann, gue gak ngerti sama apa yang lo bilang. Yang pasti sekarang gue bener-bener lagi butuh Diandra."
"Buat apa? Buat bikin dia sakit hati lagi? Buat bikin dia sedih lagi? Itu doang yang lo bisa!!"
"Gue gak pernah ada niat buruk sama dia, Ann."
Adhit berjalan ke luar kelas dan menaiki tangga menuju rooftop sekolahnya.
"Ra?" ucap Adhit seraya berjalan mendekat ke arah Diandra yang sedang duduk dan menatap langit.
Diandra menoleh dan tersenyum tipis.
"Sorry, Ra."
"Gak papa, maaf tadi gue ninggalin lo sendiri di UKS."
Adhit mengangguk paham. Laki-laki itu ikut menatap langit yang sama dengan Diandra. Hening. Diandra menyandarkan kepalanya di bahu laki-laki itu dan menarik sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman.
"Dhit," ucap Diandra yang terdengar sayup-sayup.
"Ya?"
"Kalo ada apa-apa, cerita ke gue, ya?"
Adhit menatap gadis itu yang masih menatap langit, senyumnya masih terukir jelas di bibir mungilnya.
"Iya, Ra."
•••
"Makasih, ya, Dhit. Kalo gitu gue masuk dulu."
Adhit melajukan motornya pergi menjauh dari rumah Diandra. Gadis itu membuka pagar rumahnya dan masuk ke dalam rumahnya dengan tubuh yang terasa lemas.
"Papa," ucap Diandra ketika ia melihat pria paruh baya yang duduk di meja makan sambil menyeruput kopi hitamnya.
"Kamu baru pulang jam segini?" tanya pria paruh baya itu.
Diandra menarik kursi yang ada di sebelah pria itu dan menuangkan segelas air putih. "Iya, belakangan ini pulangnya sedikit lebih sore."
"Papa tadi lihat hasil rapot kamu, kenapa berkurang nilainya?"
"Pa, Diandra lagi capek, gak mau bahas itu dulu, kita bahasnya nanti aja, ya?"
"Diandra, tapi ini penting untuk masa depan kamu. Mau ke mana kamu setelah lulus SMA ini?" ucap pria itu dengan suara yang sedikit lebih keras.
"Diandra udah tau kok mau ke mana, tapi nanti aja, ya, bahasnya."
Gadis itu berjalan menaiki anak tangga menuju kamar tidurnya tanpa memperhatikan pria yang masih menatap punggungnya dari bawah sana.
Diandra merebahkan badannya di kasur yang terasa begitu dingin setelas ia tinggal hampir seharian. Mengatur napasnya dan memejamkan mata.
Ia belum genap sebulan berpacaran dengan Adhit, tapi entah kenapa rasanya sudah terlalu banyak rintangan.
"Harusnya gue dengerin ucapan Ann untuk jangan pernah suka sama Adhit." Monolognya.
>><<
Jangan lupa vote+komentar, ya♡
06 Maret 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Salah Rasa
Teen FictionMencintai seseorang yang masih menyimpan rapih kenangan bersama masalalunya adalah seni menyakiti diri sendiri. Cinta akan menjadi baik ketika kita memilih pilihan yang tepat, pada rasa yang tepat, waktu yang tepat, dan dengan cara yang tepat pula. ...