• 23 || Salah Rasa

24 2 0
                                    

Happy reading.

>><<

Tidak seperti biasa, pagi ini Adhit tidak menjemput Diandra. Bahkan pesan-pesan yang sudah dikirim oleh gadis itupun sama sekali tidak dibaca olehnya.

Diandra melihat Adhit sedang berkumpul dengan teman-temannya di belakang sekolah. Sekumpulan laki-laki yang saat itu sedang asik mengobrol, seketika terdiam, menatap Diandra dengan tatapan acuh.

Seorang laki-laki kumal dengan baju berantakan dan rambut yang tidak tertata rapih berjalan mendekat ke arahnya, menatap Diandra dari ujung rambut hingga ujung kaki.

"Nyari gue, ya?" ucapnya dengan nada menggoda.

Diandra bergidik ngeri, ia berjalan mundur sedikit untuk menjauh dari laki-laki itu. Matanya melirik Adhit yang hanya terdiam sambil menyesap rokok di tangannya, entah ia sadar atau tidak jika Diandra berada di dekatnya saat ini.

Laki-laki kumal itu berjalan semakin mendekat. Adhit melempar puntung rokoknya ke sembarang arah dan berjalan ke arah Diandra. Ia mendorong laki-laki kumal itu sampai tersungkur ke tanah.

"Jangan sekali-kali lo berani ganggu dia!" ucapnya penuh ancaman pada laki-laki kumal itu.

Kali ini tatapannya beralih pada Diandra yang hanya terdiam di tempatnya. Ia menarik tangan gadis itu untuk menjauh dari teman-temannya yang lain.

"Kamu ngapain ke sini?" tanya Adhit ketus.

"Nyari kamu," jawabnya polos.

"Udah aku bilang aku masih marah sama kamu."

"Ya, aku minta maaf, Dhit."

Adhit menghela napas pelan. "Nanti, ya, Ra? Kasih aku waktu. Sekarang kamu pergi dari sini sebelum ketawan guru-guru."

"Aku mau sama kamu."

"Pergi dari sini sebelum aku semakin marah," ucapnya dengan tatapan tegas dan tajam.

"Iya-iyaa!!" Dengan wajah murung, Diandra terpaksa pergi dari tempat itu tanpa Adhit.

•••

"Ris," panggil Renata saat ia sengaja menghampiri Haris yang sedang duduk di pinggir lapangan. Laki-laki itu menoleh dan melihat Renata membawa buku bergambar dan pensil warna di tangannya.

"Gue beliin ini untuk Venus, ya, siapa tau dia suka," ucapnya sambil menyodorkan buku dan pensil di tangannya.

"Makasih, Ren. Tapi gue yakin dia pasti bakalan lebih seneng kalo lo yang kasih langsung ke dia."

"Hah, gimana?"

"Iya, lo bawain hadiah ini langsung ke dia."

"Gue ke rumah lo?"

"Iya, lo ke rumah gue."

"Boleh?"

"Boleh dong!"

Renata tersenyum antusias, ia senang karena akhirnya dia dan Haris sudah tidak saling membenci. Bahkan kini Haris terlihat jauh lebih baik dari sebelumnya.

Salah RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang