QLC #1: Krisis Anak Magang

17.3K 1.7K 192
                                    

Badai merayap seperti kadal menelan kumbang. Mengungkung atap gedung dan mulai menembak halilintar. Jendela pecah. Dinding amblas. Ruang kelas meledak.

"Asmara Prajna!"

Mimpi buruk Aya seketika buyar waktu namanya dipanggil. Lengan kanannya refleks diangkat. Kacamatanya yang melorot ke cuping hidung segera dibetulkan. Wanita paruh baya di depan kelas menyipitkan mata sebelum menggerakkan spidol di atas kertas presensi— ceklis di sebelah nama Aya.

Gadis itu menguap, ganti mengipas-ngipas kegerahan. Kepalanya didongakkan ke arah jam dinding. Pukul dua siang.

Kampus tidak pernah punya dana untuk servis AC, Aya kira. Kasus korupsi Dekan yang baru kemarin dia tulis untuk koran jurusan sudah cukup jadi bukti. Dasar dekan tidak tahu diri.

"Eh, Ya, abis ini ada kelas?"

Aya memutar tubuh sedikit. Perempuan dengan anak rambut yang basah oleh keringat bertanya. Aya diam sebentar, berusaha mengingat siapa namanya, tapi sepertinya mereka memang belum pernah berkenalan.

"Nggak ada."

"Bagi tugas kelompok, yuk? Sama yang lain juga."

Aya menggumamkan oh dalam hati. Mereka sekelompok ternyata. "Bagi aja, nanti gue ambil sisanya."

"Tapi—"

"Duluan, ya."

Bersamaan dengan Ibu Dosen menuturkan salam penutup, Aya mencangklong tas jinjing blacu krem polos dan beranjak keluar kelas.

***

Papan buletin selalu ramai.

FISIP tidak punya hiburan lain, jadi papan itu adalah satu-satunya sumber informasi sekaligus gosip. Selain sudut kecil untuk menempel brosur event-event yang tidak kebagian dana pagu, sisa papan buletin selalu dipenuhi kertas koran lebar bertajuk Warkom. Warta Komunikasi.

"Iya, diterima di Kemenlu. Gila banget, ya?"

"Demi apa? Anak HI yang ganteng itu, kan?"

Aya mengeluarkan buku hitam kecil sekalian pensil mekanik dari dalam tas. Langkahnya melambat. Perjalanan melewati koridor ini selalu jadi momen favoritnya. Percakapan dari berbagai kalangan mahasiswa samar-samar terdengar. Ini cara tercepat mencium isu apa yang sedang santer. Siapa menghamili siapa, siapa menyogok siapa, siapa memplagiasi siapa. Aya bisa keluar di ujung koridor dengan sepuluh topik berita berbeda.

"Kenapa nggak diliput Warkom, deh."

"Tau. Aneh. Korupsi jadi headline, giliran prestasi enggak."

Aya nyaris mendengus keras kalau tidak ditahan. Tangannya bergerak menulis sesuatu di atas kertas. Lepas dari koridor, gadis itu membelok ke arah tangga turun.

Markas Warkom berupa bangunan terpisah dari gedung fakultas, tapi ada jalan pintas yang bisa ditempuh lewat lorong bawah tanah. Katanya dulu sebelum jadi kampus, kompleks Rajabhumi ini rumah sakit zaman penjajahan, lalu lorong bawah tanahnya kamar mayat. Sesuai standar cerita horor kacangan lainnya. Untung Aya bukan penakut.

"GOKIL! Ini, nih, jurnalis kawakan kita!"

Gadis itu terpaksa berhenti di ambang pintu karena disambut oleh aplaus meriah. Senyum tipisnya mau tidak mau naik sedikit. Buku kecil dan pensil mekaniknya dijebloskan lagi ke dalam tas seiring tangannya mengibas, berusaha menyudahi sambutan itu.

"Masuk trending topic, Ya. Cakep banget, dah."

Kening Aya berkerut waktu Mas Bondan menawarkan telapak tangan di udara, meminta Aya membalas tos. "Siapa yang masukin Twitter?"

Quarter Love CrisisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang