QLC #7: Krisis Atap Bocor

4.4K 936 85
                                    

Juna sedang mencari cara agar panci listrik yang teronggok di pojok markas Warkom bisa menyala tanpa dia kena setrum waktu pintu di belakangnya terbanting membuka. Berdiri di sana menyandang tas raksasa, tidak lain adalah Asmara Prajna. Rambut pendek setengkuknya setengah basah bekas gerimis dan kacamatanya semi berembun. Sekarang nyaris tengah malam, jadi Juna agak ragu yang dilihatnya betul-betul Aya.

"M-mbak Aya?"

Yang dipanggil tidak menjawab, hanya menghela napas. Seolah kehadiran Juna di markas Warkom adalah hal terakhir yang dia harapkan. Nah, dari situ Juna simpulkan yang datang memang Aya.

"Mbak nggak apa-apa?"

Diusir, tadinya Juna pikir. Aya menatapnya seolah menimbang-nimbang apakah dia harus meladeni Juna atau meneruskan usaha awalnya diam saja.

"Nggak apa-apa."

Pintu ditutup, tas raksasa diletakkan di lantai, dan tubuh Aya diempaskan ke sofa. Kacamatanya dilepas, matanya dipejamkan.

"Nggak usah ngeliatin gue."

Kepala Juna nyaris terbentur meja waktu buru-buru berpaling. "N-nggak."

"Lo lagi ngapain?"

Laki-laki itu menoleh ragu. "Eh... ini. Mau bikin mi. Tapi nggak bisa nyala."

Aya berdiri dan mendekat. Gadis itu ikut berjongkok di sebelah Juna, mengecek sambungan kabel ke stop kontak. Kemudian bola matanya diputar.

"Belum lo pencet, tolol."

Jemari Aya menekan tombol saklar di bagian belakang panci yang Juna lewatkan. Lampu indikator menyala merah.

Juna nyengir bodoh. "Hehe. Makasih, Mbak."

Aya mengangguk. "Sama-sama."

Juna mengambil air dan bungkusan mi instannya sambil tetap mengawasi Aya. Kini gadis itu beranjak duduk di lantai, menyandarkan punggungnya ke kaki sofa. Ada sesuatu yang mengganggu Aya, meski Juna tidak tahu apa. Perempuan itu jelas tidak terlihat seperti biasanya. Tidak segalak biasanya.

Setelah sepuluh menit, Juna menyodorkan semangkuk mi instan kuah yang masih berasap di lantai sebelah Aya. Gadis itu melirik.

"Siapa yang bilang gue mau makan?"

"Kalau Mbak nggak mau, nanti saya yang makan juga nggwak apwa-apwa." Juna sibuk mengunyah porsinya sendiri. "Enwak lhwo, angewt-angewt."

Aya memilih tidak menanggapi.

"Mbwak takuwt genduwt, ya?"

"Berisik," hardik Aya. Gadis itu meraih mangkok di lantai dan menyuap mi ke dalam mulut.

Juna mengulum senyum. Selama beberapa saat, hanya terdengar denting garpu dan seruput kuah. Dua mangkok itu tandas hampir berbarengan. Sudah jelas Aya lapar.

"Mbak Aya kalau mau tidur di sofa aja. Saya biasanya selimutan pakai jaket. Mau?"

Aya mengerutkan kening. "Lo biasanya tidur di sini?"

Juna mengangguk, bangkit membereskan mangkok kosong mereka. "Kata Ndan, asal saya bisa jaga markas tetep bersih, saya boleh numpang tidur kapan aja."

"Emangnya rumah lo di mana?"

Terdengar suara kran air dinyalakan dan spons penuh sabun digosok.

"Ada."

"Terus kenapa nggak pulang?"

"Mbak Aya kenapa nggak pulang?"

Aya tidak membalas lagi sampai Juna selesai cuci piring. Laki-laki itu kembali duduk di lantai sebelah Aya.

Quarter Love CrisisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang