QLC #12: Krisis Malam Sabtu

4.9K 609 88
                                    

"Waduh, gimana ya. Udah jalan hampir seminggu. Nanggung kalau ganti mentor."

Mas Bondan memutar-mutar bolpoin di tangan, mengamati gadis yang duduk gelisah di hadapannya. "Emang kenapa, sih, Ya? Juna nggak aneh-aneh, kan?"

Markas Warkom siang itu—untungnya—sepi. Aya duduk di sofa dengan tidak nyaman. Gadis itu akhirnya hanya meloloskan desahan pelan. "Nggak."

"Terus? Kenapa lu tiba-tiba nggak mau jadi mentornya?"

"Panjang ceritanya, Ndan."

"Cowok lu cemburu?"

Aya menggeleng sedikit terlalu cepat, membuat Mas Bondan terbahak. "Serius lu? Udah gede masih aja cemburu-cemburuan?"

Yang diledek mencebik kesal. Salahkan kenaifan Aya menganggap Mas Bondan bakal berbaik hati mengabulkan permintaan tanpa mengorek-ngorek alasan pribadinya. Gadis itu memutuskan menyerah dan bangkit keluar markas Warkom. Aya sempat terhenti di pintu karena berpapasan dengan orang terakhir yang ingin dia temui.

Tawa Mas Bondan masih kekal. "Nama lu doang Asmara, masalah hidup lu ternyata juga nggak jauh-jauh dari situ!"

Aya melempar tatap kesal sekali lagi ke arah Pimred-nya sebelum berlalu meninggalkan Juna yang masih bengong di ambang pintu.

***

"Mas Gat!"

Gatra mengerjapkan mata. Sepertinya itu sudah panggilan ke sekian yang Tata layangkan, kalau melihat kerut di kening gadis berseragam putih abu-abu itu. Lobi bioskop malam Sabtu penuh. Antrian di belakang Gatra mulai tidak sabar.

"Kok bengong, sih? Popcorn-nya mau beli yang gede aja, nggak?"

Gatra meneliti menu di layar bercahaya belakang kasir. "Iya, boleh."

"Minumnya berapa? Tiga? Kak Aya jadi ikut, kan?"

"Hm, beliin aja." Gatra merogoh dompet dan mengulurkan kartu kredit pada Tata.

"Oke! Mau asin atau manis?"

"Aya suka asin."

"Yah, Tata suka manis. Boleh mixed, nggak?"

Gatra memandangi ponselnya. Chat terakhirnya tidak kunjung dibalas Aya.

"Yaudah manis aja, Ta, kalau gitu," putusnya. "Mas juga suka yang manis."

"Terus, Kak Aya?"

"Aya kayaknya nggak jadi ikut."

***

"Mas Gat lagi berantem sama Kak Aya?"

Gatra tersadar dari lamunannya. Laki-laki itu tersenyum. "Enggak. Kata siapa?"

Tata hanya mengangkat bahu, sibuk menjilati cone gelato selama beberapa detik. "Dari tadi diem. Biasanya paling semangat bahas teori parallel universe habis nonton film Marvel."

Gatra tertawa kecil. Pikirannya memang sama sekali tidak fokus pada film yang baru saja selesai mereka tonton. "Tata, dong, bahas."

"Ah, males. Mas Gat lagi enggak seru. Galau kayak ABG," ledek Tata sambil tertawa, menghindar dari jitakan main-main Gatra.

Langkah gadis itu di lorong mal sedikit melambat waktu mereka melewati toko buku.

Gatra melirik Tata. "Mau beli buku, Ta?"

Tata tidak menjawab.

"Tumben, biasanya merchandise NCT?" ledek Gatra balik, membuat Tata meninju lengannya pelan.

"Mau beli buku persiapan SBMPTN, tauuu."

"Waduh, rajin bang—"

"Mas Gat!" decak Tata.

"Iya, iya," tawa Gatra. "Jarang aja ngelihat kamu serius soal sekolah gini."

Tata mengerucutkan bibir. "Ya gimana nggak serius? Kalau nggak masuk negeri, nggak kuliah aku."

Gatra mengerutkan kening. "Kak Lala bilang gitu?"

"Enggak. Nggak ada yang bilang. Tapi aku nggak mau jadi beban."

"Nggak jadi beban lah, Ta. Jangan mikir gitu."

Tata menggeleng. "Kamu tahu sendiri lah, Mas. Habis Kak Lala putus sama Mas Laksa, PRAJNA sekarat. Kalau aku nggak keterima negeri, bisa-bisa Kak Lala overdosis lagi. Apalagi, kampus yang aku mau—"

"...apa?"

Tata mengerjap. Ocehannya seketika terhenti ketika menyadari Gatra kebingungan.

"Loh..." lirih Tata, "...Kak Aya nggak cerita?"

***

"Ta!"

Aya buru-buru menghampiri Tata yang baru saja membuka pintu depan. "Sorry gue lupa kita ada janji nonton. Tadi waktu Gatra chat, gue lagi di perpus, jadi HP gue mute."

Perkara diledek Mas Bondan, Aya memutuskan memperbaiki suasana hatinya dengan membaca buku di perpustakaan kampus. Bodohnya, dia malah melupakan janji nonton bareng Gatra dan Tata. Dua orang itu memang maniak Marvel, sementara Aya modal ikut-ikutan saja. Gadis itu pikir ketidakhadirannya tidak akan terlalu berpengaruh karena toh biasanya Gatra dan Tata asik sendiri membahas teori, tapi paras Tata justru menunjukkan sebaliknya.

"Lo kenapa, sih, pucet gitu? Gatra juga ngapain masih di mobil?"

Tata menelan ludah dan buru-buru menarik Aya masuk ke dalam rumah. "Kamu seriusan nggak cerita apa-apa ke Mas Gat, Kak? Samsek?"

Aya mengerutkan kening. "Cerita apaan?"

"Soal Kak Lala!" bisik Tata gemas. "Kamu nggak cerita Kak Lala sama Mas Laksa putus? Kamu nggak cerita PRAJNA lagi sekarat? Kamu nggak cerita—"

"Lo cerita?" sela Aya tajam.

"Ya kan aku nggak tahu—"

"Ikut campur banget sih, lo, Ta!"

"Lah!" Tata tidak terima melihat gelengan marah Aya. "Mana aku tahu kalian lagi berantem?"

"Gue sama Gatra nggak berantem!"

"Ya terus kenapa kamu sembunyiin semuanya dari dia?"

Aya tampak tidak habis pikir. "Ya karena dia nggak perlu tahu semuanya, Ta!"

Tata menatap kakaknya tidak percaya. "Mas Gat udah hampir empat tahun jadi cowok kamu, Kak! Dia bagian dari keluarga kita!"

Ada jeda beberapa detik sebelum Aya tertawa.

"Denger, ya." Telunjuknya dipancang satu senti dari wajah Tata. "Gatra tuh udah punya keluarga yang sempurna. Dia nggak butuh jadi bagian dari keluarga berantakan kayak kita."

"Ay."

Dua gadis itu tersentak bersamaan. Gatra berdiri di ambang pintu, kedua tangannya dipenuhi paper bag dari toko buku.

bersambung

Quarter Love CrisisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang