QLC #22: Krisis Cinta Setara

1.4K 282 54
                                    

"Kamu yakin gapapa?"

Kalimat Gatra mengalun lembut di telinga Aya, seiring jemari laki–laki itu menggenggam erat tangannya. Satu lengan Gatra masih memutar setir, memarkir mobilnya di pinggir jalan raya. Dari posisi mereka, gerbang SMA Tata terlihat.

"Karena kalau kamu mau dia keluar dari Rajabhumi pun, aku bisa usahain, Ay."

Aya tersenyum tipis, rasa bersalah masih bersemayam di dadanya. "Aku gapapa, Gat. Mas Bondan udah setuju buat berhentiin dia dari staf Warkom."

"Tapi kamu masih satu jurusan. Kamu bisa aja ketemu dia di kampus." Gatra menarik napas. Genggaman tangannya makin erat. "Kasih tahu aku, Ay. Kamu butuh apa?"

Aya menatap tangannya yang digenggam erat. "Aku nggak mau... aku nggak mau masalahnya makin besar. Aku nggak mau– ada yang tahu."

"Aya..." Gatra kini mencondongkan tubuhnya ke arah gadis itu. "Semua orang bakal lindungin kamu."

Aya menggeleng. "Aku bukan korban, Gat."

"Aku tahu, nggak mudah buat terima itu. Tapi–"

"Aku bukan korban." Aya mengulang, lebih keras. "Aku juga sama salahnya. Aku tetep... aku... aku selingkuh. Aku... aku bohongin kamu. Harusnya aku jauh–jauh dari dia sejak awal. Harusnya aku nggak ucapin selamat. Harusnya aku nggak ngobrol–"

"Aya, dengerin–"

"Harusnya aku nggak cerita apa–apa!" Napas Aya tidak beraturan. Dadanya naik–turun oleh emosi. Gadis itu melepaskan genggaman tangan Gatra dan menangkup wajahnya dengan kedua tangan. "Harusnya aku cerita ke kamu..."

Gatra tidak tega. Jauh di dalam dirinya, laki–laki itu juga menyesali kenapa Aya memilih untuk bercerita lebih dulu pada orang lain. Tapi Gatra berusaha keras memahami. Kalau saja Aya bilang apa yang perlu Gatra ubah dari dirinya... Gatra rela melakukannya. Apa saja, apa saja akan dia berikan untuk Aya.

"Ay... kalau ada yang bisa aku lakuin supaya kamu lebih nyaman cerita sama aku..."

"Nggak ada." Aya menggeleng dengan cepat. "Nggak ada yang perlu kamu lakuin lagi, Gat. Kamu... kamu udah terlalu baik sama aku."

"Tapi pasti ada yang bisa aku usahain lebih lagi, kan?"

"Nggak ada, Gat."

"Sesuatu yang bikin kamu terbuka sama dia. Sesuatu yang nggak aku punya."

"Nggak... nggak gitu..."

"Mungkin aku belum cukup–"

"Aku yang nggak cukup!"

Pintu mobil dibuka.

"Halooo! Maaf Tata telat keluarnya, tadi dicegat alumni!"

Gatra dan Aya serempak menarik diri waktu Tata masuk mobil.

"Dia Ketua OSIS tahun lalu gitu, terus nanyain kenapa Tata nggak pernah bales LINE–nya. Tata bingung banget jadi nyari–nyari alasan, terus malah jadi panjang deh obrolannya. Eh, kok pada diem?" Tata melirik bolak–balik dua orang yang duduk di depan.

Gatra jadi yang pertama berdeham, kemudian tersenyum meledek ke arah spion tengah. "Cie... naksir kamu kali, Ta."

Tata mengerucutkan bibir sambil melepas ransel. "Nggak lah! Suka basa–basi aja itu orangnya."

Gatra melirik Aya yang diam saja, menyalakan mesin. "Oh ya? Siapa emang namanya?"

"Ih, nggak mau, nanti Mas Gat cepuin ke Bang Abim."

Gatra spontan tertawa. "Lah emang kenapa kalo Abim tau?"

"Duuuuhhhhh." Tata refleks mengeluh heboh. "Mas Gat kayak nggak tahu dia aja. Bisa–bisa sebulan penuh dia ledekin aku. Mas Gat inget cowok yang terakhir anter aku pulang gara–gara hujan badai itu? Sumpah! Dia masih bawa–bawa nama tuh cowok sampe sekarang. Terus ya..."

Quarter Love CrisisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang