QLC #13: Krisis Keluarga Cemara

1.9K 341 21
                                    

"Ta. Ada apaan sih, berisik banget di bawah?"

Abim melongokkan kepala keluar pintu kamar hanya untuk mendapat Tata memeluk paper bag dengan nelangsa. Gadis itu sudah berdiri kaku dua menit di situ, berusaha mengintip apa yang terjadi di bawah tangga, tapi takut ketahuan juga. Tata akhirnya menyelinap masuk ke kamar Abim.

"Bang, gue baru aja ngerusak hubungan orang..."

"Hah?" Alis Abim melengkung sangsi sambil melempar tubuh naik ke atas kasur. "Hubungan siapa yang lo rusak?"

"Itu... kakak lo yang paling jutek." Tata masih memasang tampang memelas, ikut duduk di pinggiran ranjang. "Gue takut dijutekin Aya seumur hidup."

"Emangnya lo ngapain? Ngerebut Mas Gat?"

Tata mencebik malas, refleks mendorong lutut Abim menjauh. "Pala lo peyang. Ah, udahlah, males gue cerita sama lo."

"Dih, sensitif," celetuk Abim. Lengannya disilangkan untuk menopang belakang kepala. "Lagian pada kenapa dah orang-orang. Perasaan baru kemarin Lala putus sama si Laksa bajingan itu. Sekarang Aya sama Mas Gat berantem."

"Keluarga kita kena kutuk," semprot Tata asal.

"Lo yang ngomong, ya. Gue nggak ikutan."

Yang diajak bicara hanya memutar mata. Tata mengalihkan pandang, memerhatikan keseluruhan kamar Abim. Kamar itu gelap seperti biasanya. Satu-satunya pencahayaan yang ada berasal dari set up LED yang berpusat pada komputer gaming dan poster-poster One Piece.

Gadis itu tiba-tiba teringat sesuatu. "By the way, gimana kabar Raden Roro Kanigara Sasmaya Rajni Pandita?"

Abim mendecak malas dan melempar bantal. "Bacot lo, Dek."

Tata menghindar dan tertawa.

"Galak banget, Abang..." ledek gadis itu, paham betul Abim tidak bisa disenggol soal kisah cintanya sendiri. "Makanya lo gerak, dong. Kalau mengagumi dari jauh doang, keburu disikat tuh putri keraton."

Abim beringsut bangun, merebut paper bag Tata. "Mending lo balik ke kamar lo, terus lo bawa nih belanjaan— eh buset!"

Abim tidak menyangka paper bag itu akan kelewat berat. Gerakan impulsifnya membuat beberapa buku meluncur jatuh ke lantai. Judul-judul buku latihan soal ujian masuk kampus bertebaran.

"Di-endorse Gramedia lo, Dek?"

Tata diam, buru-buru memunguti bukunya.

"Woi! Kesambet setan ambis ya?"

"Bacot." Tata akhirnya melengos, mengangkut paper bag-nya dan beranjak keluar kamar. "Kesambet setan keraton, kali."

"YEEEH, SELEBGRAM!"

***

"Aku mau kamu nyaman cerita semuanya sama aku, Ay. Apa pun itu. Baik buruknya keluarga kamu. Keluarga kita. Aku siap nerima semuanya. Aku ada di sini bukan cuma buat seneng-senengnya aja. Aku juga mau nemenin kamu waktu kamu sedih. Waktu saudara-saudara kamu sedih. Jadi cerita semuanya sama aku ya, Ay?"

Aya memijit pelipis. Kepalanya pening. Kacamatanya tergeletak di atas meja Warkom. Obrolan serius dengan Gatra kemarin malam membuat gadis itu tidak bisa berhenti berpikir.

Masalahnya bukan dia tidak nyaman menceritakan masalah keluarga pada Gatra. Hanya saja Aya merasa Gatra tidak akan bisa mengerti sepenuhnya. Laki-laki itu jelas-jelas tumbuh di keluarga 'cemara'. Mana kenal dia soal perselingkuhan atau perceraian?

Lagipula, semakin Gatra tahu tentang kekacauan keluarga mereka, semakin Aya merasa tidak pantas bersanding dengan kekasih hampir empat tahunnya itu.

"Mbak Aya."

Aya tersadar. Dia sudah tidak sendiri di meja itu. Ada Juna duduk di hadapannya. Aya tanpa sadar menarik tubuhnya ke belakang, punggung tegak menempel di sandaran kursi.

"Jun. Bukannya gue udah bilang kalau ada yang mau ditanyain bisa lewat chat?"

"Mbak Aya ngehindarin saya, ya?"

Aya diam sebentar. "Enggak," tukasnya defensif. "Kenapa lo mikir gitu?"

"Ya, Mbak Aya nggak pernah mentoring sampe malem lagi."

"Gue kan udah bilang, gue ada—"

"Iya, kelas malem. Tapi saya nggak pernah lihat Mbak Aya di kampus kalau malem, tuh."

Aya mengangkat bahu tak acuh. "Ya kebetulan nggak ketemu aja, kali."

"Mbak lupa saya tidur di sini?"

Belum sempat Aya meng-counter, bocah magang itu sudah melanjutkan, "Mas Gatra cemburu, ya?"

Aya refleks menoleh pada sosok yang tidur di sofa dengan wajah terkubur jilidan draf berita. Bibirnya mendecak kesal. Sudah pasti gara-gara mulut ember mahasiswa tua itu Juna bisa tahu-menahu soal masalah Aya dengan Gatra. "Bondan sialan."

Juna tersenyum tengil. "Maaf ya, Mbak. Nggak bermaksud bikin salah paham."

Pada akhirnya Aya hanya bisa mengangguk malas. "Yaudah. Jadi gimana? Diklat tiga hari lagi, lo udah ngerti semua materinya?"

"Harusnya aman." Juna mengacungkan jempol. Gesturnya terlihat sedikit lebih santai begitu topik pembicaraan berubah. "Mbak Aya ke Puncak ikut mobil siapa?"

"Ines."

Kerut di kening Juna terbentuk. "Loh, bukannya Mbak Ines lagi pulang kampung? Opung-nya ulang tahun?"

"Udah balik," sahut Aya datar. "Opung-nya kecapekan pesta, disuruh dokter bed rest."

Keduanya saling bertatapan dua detik sebelum meledak dalam tawa.

bersambung

Quarter Love CrisisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang