QLC #16: Krisis Awan Badai

2.3K 346 131
                                    

"Udah semua, nih? Kok cuman enam? Perasaan kemarin kita berangkat bertujuh?"

Ines mengerutkan kening, jarinya menghitung anak-anak yang berdiri di sekeliling mobilnya. "Aya... Aya mana?"

"Ngikut mobil Ndan, kali?"

"Lah, bukannya udah penuh?"

"Udah cabut duluan sama cowoknya, Nes!"

"Oh..." Ines manggut-manggut. "Ya udah. Jun, tolong, dong. Ini titip di bagasi belakang."

Perempuan itu sekuat tenaga mengangkut ransel berat dari tanah. "Woi! Juna!"

Juna mengerjap. "Hah? Iya, Mbak?"

"Bengong mulu lo! Kesurupan baru tau rasa!"

Juna minta maaf. Laki-laki itu mengusapi tengkuk dan membantu Ines meletakkan barang-barang di bagasi mobil. Ada yang lebih berat dari ransel di tangannya.

Perjalanan pulang dari Puncak tidak semeriah saat berangkat. Semua orang sudah kehabisan tenaga, sisanya masih separuh mengantuk. Juna duduk di pojok belakang, menatap kosong ke luar jendela. Mobil Ines terasa lengang. Komposisinya hilang satu orang.

Udah cabut duluan sama cowoknya, Nes!

Kalimat itu masih membentur dinding kepala Juna berulang kali sejak setengah jam lalu. Ulu hati laki-laki itu serasa ditonjok.

Persis ketika Juna membenarkan duduknya, rintik hujan pertama pagi itu turun di jalanan Bogor.

Juna mendongak bodoh. Atap mobil tidak mungkin bocor.

Tidak mungkin seperti di markas Warkom.

Atau tempat itu.

***

"Duh, sialan..."

Juna tidak ingat kapan terakhir kali hujan memukul aspal Jakarta sekeras sore ini. Mendung sudah menaung sejak pagi, meski badainya baru mulai lima menit lalu.

"Ya gimana? Lo jadi orang tanggung jawab, dong! Itu kan kerjaan lo. Masa gue juga yang ngerjain?"

Halte TransJakarta sesak. Orang-orang saling berhimpit, menghindari tetesan air dari atap— yang sebetulnya percuma, karena angin tetap saja membawa butiran hujan ke sana kemari. Seragam putih abu-abu milik Juna sudah setengah kuyup, bahkan sudah mulai kering lagi. Satu jam dia duduk di sini. Ponselnya sudah habis baterai. Rambut keritingnya sudah menempel ke kulit kepala dan separuh dahi. Panjangnya yang sudah nyaris sampai pundak itulah yang jadi alasan Juna kena omel guru-guru di sekolah setiap hari.

"Maksud lo apa? Gila ya? Lo kalau nggak becus mah keluar aja dari Warkom. Nyusahin amat."

Juna akhirnya menoleh penasaran. Kepada seorang perempuan yang baru semenit lalu berlari ke bawah atap halte untuk berteduh. Pundak dan telinganya menjepit ponsel yang sedang ada dalam panggilan suara. Panggilan suara yang penuh tensi, sepertinya.

Rambut perempuan itu dipotong pendek setengkuk. Hitam legam. Kacamatanya sedikit basah kena hujan, disangga tulang hidung yang mancung. Bibirnya yang tipis pucat karena dingin. Tali sleeve laptop menggantung dari satu bahunya. Tubuhnya kurus, nyaris terlalu kurus. Tulang selangkanya menonjol di balik kaos band warna merah gelap dan jeans lusuh.

Juna tidak bisa melupakan matanya. Sorotnya keras. Caranya berdiri dan mengetuk-ngetukkan Converse usang ke trotoar membuat Juna menyimpulkan dia bukan penyabar. Kerutan di antara kedua alisnya tercetak jelas. Caranya memborbardir orang di seberang telepon mengingatkan Juna pada pembawaan seorang jurnalis investigasi yang sering dia tonton di televisi. Juna tidak ingat siapa namanya. Tapi yang jelas perempuan ini lebih cantik.

Quarter Love CrisisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang