QLC #14: Krisis Puncak

2.6K 341 99
                                    

Juna belum pernah merasa dikerjai separah itu seumur hidupnya. Mulai dari mencari semut jantan, bergulingan di semak-semak, dikageti guling putih yang menggantung dari atas pohon, sampai disuruh menyebut sebelas pasal kode etik jurnalistik padahal cuma ada sepuluh poin dalam materi yang dibagi.

Terus kamu nggak tahu? Nggak mau cari tahu? Nggak tanya mentormu? Kalau dikasih hoax kamu telen mentah-mentah, hah? Mau jadi jurnalis kok goblok!

Rasanya Juna ingin sujud syukur waktu mereka diceburkan ke kolam renang sebagai tanda sah dilantik menjadi staf tetap Warta Komunikasi. Meski udara Puncak membuatnya menggigil, setidaknya dia bisa tidur tenang malam ini.

"Awas pilek."

Juna mengangkat kepala dari permukaan air. Senyumnya refleks mengembang begitu pandangannya menangkap gadis yang dia kagumi sedang berjalan mendekat. Hampir seluruh staf baru sudah mangkat dari kolam, kedinginan ingin buru-buru antri mandi air hangat di kamar mandi villa. Sisa Juna seorang.

"Udah latihan militer seharian, Mbak, masa kena air doang pilek."

Aya tertawa. Belakangan ini, gadis itu jadi lebih luwes di sekitar Juna. Mungkin karena kesalahpahaman di antara mereka sudah dibereskan. Aya juga jadi lebih sering tersenyum, meski matanya masih tetap galak.

Ada sesuatu dalam matanya yang kalau dibiarkan bisa menghipnotis Juna.

"Panggil Aya aja. Kan sekarang udah sama-sama staf tetap."

Waduh.

Jantung Juna langsung berdetak tak karuan. Seniornya itu sudah sampai di pinggir kolam, memeluk tubuh kedinginan. Juna justru merasa gerah.

Aya mengulurkan tangannya.

"Selamat, Jun."

Entah dorongan dari mana, Juna menyambut tangan itu dan menariknya kuat.

Aya menjerit. Tubuhnya jatuh tercebur ke dalam kolam. Gadis itu memukul Juna keras-keras di dalam air.

"GILA LO, JUN! GUE NGGAK BAWA BAJU GANTI LAIN!"

Juna tertawa riang. Berhasil melalui hari pelantikan ini entah bagaimana memberinya keberanian ekstra.

"Nanti pake baju gue aja, Ya."

Alis Aya langsung diangkat sebelah. Gadis itu menyeka rambutnya yang basah tak karuan ke belakang kepala. "Langsung berani ya lo manggil nama?"

"Katanya boleh panggil Aya?"

Senyum tengil Juna melelehkan Aya juga akhirnya. Gadis itu menggeleng.

"Nyebelin lo."

"Makasih, Ya."

Aya memusatkan perhatiannya pada Juna yang berenang mendekat dan menatap gadis itu lekat-lekat.

"Makasih udah jadi mentor gue."

Aya tersenyum sedikit dan mengangguk. Jauh di lubuk hatinya, Aya merasa lega karena tugasnya sebagai mentor akhirnya tuntas juga. Selepas ini, dia tidak perlu banyak berurusan dengan Juna dan merasa bersalah lagi pada Gatra. Aya tidak ingin mengecewakan Gatra. Aya tidak ingin kepercayaan dan hubungan yang sudah mereka bangun bertahun-tahun ini runtuh begitu saja.

Jadi Aya pikir, tidak apa-apa kalau dia berbaik hati sedikit pada Juna untuk malam ini saja. Hitung-hitung ucapan terima kasih terakhir karena Juna juga sudah baik pada Aya, mendengarkan cerita-ceritanya ketika Aya kabur dari rumah.

"Sama-sama, Jun," balas Aya akhirnya. "Sorry juga... soal salah paham kemarin. Gatra... marah karena gue bohong soal pulang bareng lo. Dia curiga karena dia pernah lihat langsung lo boncengin gue. Gue juga nggak nyangka ternyata Gatra lihat kita waktu itu."

Juna terdiam sesaat.

"Kalau sekarang?"

"Kalau sekarang?" ulang Aya bingung.

"Kalau sekarang, Gatra nggak lihat kita, kan?"

Juna menghabisi jarak air di antara mereka dan mencium bibir Aya.

bersambung

a/n:

QLC #15 sudah bisa dibaca di KaryaKarsa @chocotwister! ;)

Quarter Love CrisisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang