QLC #10: Krisis Kode Etik

3.4K 591 29
                                    

Agenda yang paling dinanti-nantikan anggota Warta Komunikasi adalah diklat tahunan. Pelatihan sekaligus pelantikan anak-anak magang menjadi staf tetap itu mengambil tempat di villa Puncak. Selain projek berkelompok, acara yang paling ditakuti adalah rangkaian pos di mana para magang akan diuji pengetahuan jurnalistiknya. Rumornya, bukan cuma otak mereka yang diuji, tapi mental juga. Sebagai staf emas alias staf yang lulus dari diklat tahun lalu dengan skor tertinggi, Aya bisa mengklaim rumor itu seratus persen benar.

Itu sebabnya, dua minggu sebelum diklat, selalu ada pembagian mentor. Setiap anak magang ditugaskan di bawah bimbingan satu orang mentor yang nanti akan membantunya mempersiapkan diri.

"Ya, sumpah kamu harus bantuin aku."

Sore itu, setelah jadwal diklat dan list mentor dibagi, Ines merapat ke Aya di sofa Warkom. Aya yang sedang duduk bersila menutup laptop di pangkuannya.

"Kenapa, Nes?"

"Opungku mau ulang tahun, terus aku harus balik ke Medan buat pestanya," keluh Ines. "Nggak bisa jadi mentor."

Aya mengerutkan kening. "Kan, diklat masih dua minggu lagi. Emang kapan pestanya?"

"Pestanya dua minggu itu!"

"Hah?" Aya kaget. "Pesta apaan nyampe dua minggu, Nes!"

"Yah, itulah! Keluargaku kan, banyak. Jadi pestanya keliling gitu. Nggak di satu tempat aja."

"Hebring bener, ya, Opung lo." Aya geleng-geleng. "Terus lo mau minta gue gantiin lo jadi mentor gitu?"

"Iya. Kamu nggak ditugasin megang siapa-siapa, kan?"

"Enggak, lah," dengus Aya. "Mas Bondan udah tahu gue nggak bakal bisa sabar ngajarin bocahan magang."

"Aduh, kek mana ini, Ya. Bisa dilarang menginjakkan kaki selama-lamanya di Medan aku kalau nggak datang."

"Emangnya Medan punya Opung lo?" tawa Aya pelan. "Yaudah, gue bantuin. Siapa, sih, bocahan magang lo?"

"Puji Tuhan!" Ines mengguncang pundak Aya penuh syukur, sebelum cengengesan. "Itu, si Juna. Eits, udah bilang iya kamu! Nggak bisa ditarik!"

"Tap—" Aya menelan protesnya waktu Ines buru-buru kabur dari hadapannya. Gadis itu menghela napas. Teringat pertemuan terakhirnya dengan Juna yang berjalan kurang baik. Aya hanya bisa berharap laki-laki itu tidak bertanya macam-macam lagi soal keluarganya.

***

"Jadi kita nggak boleh masukin informasi dari narasumber kalau dia minta wawancaranya off-the-record? Sekalipun itu fakta krusial?"

Sebaris martabak manis dari kotak kardus di atas meja sudah habis waktu Juna melempar tanya. Di sofa, Aya menggeleng.

"Berita lo jadi nggak sah. Ada hak narsum, ada kode etik jurnalistik. Semuanya dilindungin undang-undang pers. Lo bisa dituntut."

"Kalau identitas narsumnya disamarin?"

"Itu on-the-background. Lo boleh pake kata ganti kayak 'salah satu pegawai institusi X'. Kalau on-deep-background, lo nggak boleh ngutip kalimat narsum dan lo dilarang nyebutin identitasnya sama sekali. Sumber beritanya dianggep nggak ada. Nah, itu bahaya. Kalau misinformasi, lo yang tanggung jawab. Bukan narsumnya."

Juna menggaruk pelipisnya dengan ujung bolpoin. Napasnya ditarik lalu diembus. Laki-laki itu menghitungi lembar demi lembar kertas yang dia pegang.

"Banyak banget materinya. Paling di Puncak cuma dites mental."

Aya memutar mata. "Sok tau banget."

"Waktu Mbak Aya dilantik, serem, nggak?"

"Nggak."

"Bohong."

Aya merengut menatap Juna. "Terserah deh, kalau nggak percaya."

"Nggak, nggak, serius." Juna menegakkan tubuh. "Diapain aja?"

Aya nyaris tersenyum geli kalau tidak ditahan. Juna kelihatan benar-benar grogi menghadapi diklat dua minggu lagi.

"Kalau lo nguasain materi, ya nggak diapa-apain. Makanya belajar."

Juna mendesah kecewa dan bergulung di lengan sofa. "Mbak Aya nggak suportif."

Sekali itu Aya tersenyum, mumpung Juna tidak melihat. "Yaudah, gue balik ya. Kalau ada yang mau ditanyain besok lagi aja."

Juna langsung bangkit. "Saya anterin."

"Gue dijemput—"

"Udah minta jemput, emangnya?" Juna melihat Aya yang baru mengeluarkan ponsel untuk mengirim pesan pada Gatra.

"Ini baru mau."

"Yaudah, saya anter aja. Itung-itung ucapan terima kasih udah dimentorin sampe malem gini." Juna memasang jaket secepat kilat dan mengulurkan helm yang tergeletak di lantai.

Aya masih memandang ragu helm itu waktu ponselnya bergetar singkat.

Gat <3

Dijemput jam berapa, Ay?

Aku habis mindahin barang ke apart

Belom semua sih

"Mbak Aya?"

Aya tersadar. Gadis itu meraih helm dari tangan Juna dan membalas pesan Gatra.

aku udah di rumah gat

kamu istirahat aja ya

love u

bersambung

Quarter Love CrisisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang