QLC #9: Krisis Antar Pulang

3.1K 635 41
                                    

"Pagi, Ay. Udah sarapan?"

Aya memasang sabuk pengaman sembari tersenyum. "Udah. Kamu udah?"

"Udah, tadi bareng Papi-Mami. Mami nanyain kamu, katanya kapan main ke rumah lagi." Gatra menginjak gas sementara mobilnya melaju keluar perumahan. "Soalnya kayaknya aku jadi pindah ke apart."

Aya mengangguk-angguk. Gatra memang berencana pindah sementara ke unit apartemen dekat Pusdiklat. Jarak Kemenlu ke rumahnya cukup jauh, apalagi kalau jam macet, rawan terlambat.

"Pindahannya kapan?"

"Akhir minggu ini, mungkin. Mau bantuin?"

"Dibayar berapa?"

Gatra mendecak. "Kapitalisss."

Aya tertawa dan memeluk lengan Gatra yang menganggur di atas kopling. "Biarin. Kan, pacar aku anak tunggal kaya raya."

"Pacar kamu calon diplomat masa depan."

Aya mengulum senyum. Gatra tidak pernah mau dijuluki apa pun yang berkaitan dengan kekayaan orangtuanya. Laki-laki itu ingin dikenal karena kerja keras sendiri. Makanya kemarin Aya sensi waktu Juna membawa-bawa masalah nepotisme. Gatra bukan orang seperti itu.

"Nanti barang-barang kamu mau diambil jam berapa, Ay? Pas jam makan siang, dong. Biar aku bisa jemput."

Gatra mungkin hal terbaik yang pernah Aya punya.

"Enggak, ah. Mau dijemput selingkuhan aku."

"Dih. Emang ada yang mau sama cewek galak kayak kamu?"

Aya mengerucutkan bibir malas, mengeratkan pelukannya. "Ada. Nih, calon diplomat."

"Calon suami." Gatra mencuri ciuman di puncak kepala Aya, membuat gadis itu diam-diam tersenyum.

"Kamu belum cerita, lho."

Aya mendongak bingung. "Cerita apa?"

"Kemarin. Kamu berantem soal apa sama Kak Lala?"

"Oh..." Aya bergerak tak nyaman, melepas pelukan. "Itu... cuma berantem biasa, kok."

Gatra mengangkat alis. "Sampe kamu tidur di Warkom terus Kak Lala masuk IGD?"

Aya menelan ludah.

"Ay—"

"Nanti," potong Aya. "Nanti... aku cerita."

Gatra menelan sisa pertanyaannya, mengamati gelagat aneh Aya di sebelah. "Tapi kamu bakal cerita, kan?"

Aya mengalihkan pandang ke luar jendela. "Iya... nanti."

Untung saja Gatra bukan ahli deteksi kebohongan seperti dirinya.

***

Tas itu masih tergeletak di kaki sofa seperti pagi tadi waktu Aya meninggalkannya.

"Nggak jadi minggat, Mbak?"

Aya mengangkat wajah, menyadari Juna duduk di salah satu kursi. Gadis itu tersenyum tipis. "Nggak. Nih, mau gue bawa balik."

"Mau dianterin?"

"Nggak usah," geleng Aya otomatis. "Gue dijemput—"

Ucapan Aya terhenti waktu ponselnya bergetar. Gadis itu membaca pesan masuk dan mendesah kecil.

"Kenapa, Mbak?"

"Gatra nggak bisa jemput. Diajak atasannya makan siang."

"Saya bawa motor."

"Gue naik taksi aja."

"Jam segini nggak macet? Kalau motor bisa nyelip-nyelip," sahut Juna cepat. "Anggep aja ojek. Mbak Aya mau bayar saya juga boleh."

Aya menatap laki-laki itu heran. "Maksa banget sih, lo, Jun? Yaudah buruan."

Juna menyematkan cengiran dan mencomot entah helm siapa dari atas rak besi dekat pintu. "Atas nama Asmara Prajna? Mau pakai helm?"

Aya memutar mata, meski jemarinya meraih helm pemberian Juna. Laki-laki itu mengangkut tas besar Aya ke pundaknya dan bersiul memimpin langkah keluar markas Warkom.

***

"Mampir, Jun."

"Boleh?"

Aya mengangkat wajah tidak siap.

Juna tertawa. "Oalah, basa-basi toh. Yaudah, Mbak, saya duluan ya."

"Eh, enggak, enggak." Aya buru-buru meralat ekspresi. Juna sudah bersikap baik padanya sejak kemarin, setidaknya Aya bisa membalas dengan sikap baik juga. "Parkir dalem aja."

Juna nyengir mengawasi kakak tingkatnya mendorong gerbang. Usai memarkir motor di teras, laki-laki itu mengikuti langkah Aya masuk ke ruang tamu.

"Teh? Kopi?"

"Ini bukannya... @jjelita?" Juna tampak melongo memandangi bingkai foto di atas bufet.

"Lo tahu selebgram-selebgram juga?" dengus Aya. "Itu Tata. Adek gue."

Gadis itu melangkah menuju dapur, mengeluarkan kotak jus dari kulkas, dan menuang jeruk dingin ke gelas. Waktu Aya kembali, Juna sudah duduk manis di sofa.

"Adanya ini."

"Makasih, Mbak." Juna meneguk setengah isi gelasnya sebelum kembali mengedarkan pandang. "Rumah emang sepi terus, ya?"

"Kenapa? Mau lo rampok?"

Juna tertawa. "Bukan. Biasanya rumah orang kaya pake ART."

"Bukan orang kaya," cetus Aya. "Ini rumah bokap, cuma emang udah dipindahin atas nama kakak gue."

"Terus, ayah Mbak Aya sekarang di mana?"

Aya mengangkat bahu. "Nggak tahu. Dia kontraktor, kerjaannya pindah-pindah."

"Tapi masih sering pulang ke sini?"

Aya tidak menjawab, jadi Juna memutuskan mengganti pertanyaan.

"Kalau ibu—"

"Jun, gue ke atas dulu ya. Mau beresin ini." Aya bangkit dan mencangklong tas besarnya. "Kalau balik, jangan lupa tutup gerbang."

Juna terdiam waktu Aya berderap menaiki tangga. Jus jeruknya yang masih setengah gelas mengembun di atas meja.

Dingin.

***

Jakarta macet.

Gatra mengecek arloji. Menghitung-hitung apakah dia masih sempat menjemput Aya sebelum jam makan siang habis. Laki-laki itu merasa bersalah karena sudah menawari tumpangan tapi ternyata berhalangan. Aya jadi terpaksa naik taksi sendiri.

Padahal, membuat Aya merasa sendirian adalah hal terakhir yang Gatra inginkan. Setelah kemarin gadis itu kabur dari rumah tanpa memberitahunya, Gatra merasa ada sesuatu yang membuat Aya tidak bisa bercerita padanya. Gatra tahu ini berlebihan, tapi dia merasa gagal. Harusnya dia bisa membuat Aya nyaman menceritakan apa pun padanya.

Perasaan Gatra tidak tenang. Laki-laki itu baru saja akan mengirim pesan pada Aya, bertanya apakah gadis itu sudah dalam perjalanan pulang naik taksi, ketika tatapannya tiba-tiba terpaku pada motor yang berhenti di depan mobilnya di tengah kemacetan. Penumpangnya tampak familiar. Gatra menurunkan kaca mobil dan sudah akan memanggil ketika gadis yang sangat dia kenal tertawa lepas. Kemudian pandangannya jatuh pada si pengemudi motor.

Gatra urung memanggil. Laki-laki itu menaikkan kaca mobil.

bersambung

Quarter Love CrisisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang