QLC #11: Krisis Martabak Manis

2.8K 579 38
                                    

Tata sedang membalik roti di atas teflon waktu Aya turun dari kamar. Gadis itu terbangun lebih awal gara-gara perutnya keroncongan. Aya membuka pintu kulkas, mencari-cari makanan yang bisa dicerna tanpa harus repot seperti Tata.

Matanya tertumbuk pada kardus martabak manis. Mereknya sama persis dengan yang semalam dia makan bersama Juna.

"Martabak siapa, Ta?"

Tata bahkan tidak mengangkat wajah dari roti di teflon. "Mas Gat."

Aya mengerutkan kening. "Dikirimin?"

"Lah, kemarin sebelum jemput kamu di kampus, Mas Gat kan ke sini bawa martabak."

Jantung Aya serasa disiram air es. "Hah? Jemput gue?"

"Iya." Tata kali ini menoleh bingung. "Semalem dia ke sini habis beresin apart-nya. Terus jam sepuluh waktu kamu chat minta jemput, dia berangkat. Martabaknya aku masukin kulkas. Emang kenapa? Masa baru semalem udah rusak?"

Aya menelan ludah. Gadis itu balas menatap Tata yang tidak tahu apa-apa dan menjawab serak, "Martabaknya nggak rusak."

Hubungannya dengan Gatra yang belum tentu.

***

Tidak ada yang membuat Aya merasa lebih bodoh daripada memandangi layar ponselnya, berharap notifikasi atas nama Gatra muncul. Setelah tadi pagi mengabari dia tidak bisa mengantar Aya ke kampus karena urusan kantor, seharian laki-laki itu tidak mengirim pesan. Bahkan chat terakhir Aya hanya dibaca. Gadis itu paham kalau Gatra mungkin marah, atau pasti marah. Tapi silent treatment begini bukan kebiasaannya.

Aya menggigit bibir. Haruskah dia mengalah dan mengirim pesan duluan?

"Mbak Aya?" Juna yang baru kembali dari toilet memeriksa jam dinding. "Udah jam setengah sebelas malem. Belum mau balik?"

Aya menghela napas. Memang dia yang salah, jadi dia yang harus mengalah. Gadis itu baru saja mulai mengetik ketika sebuah pesan masuk.

Gat <3

Aku di depan.

Mampus. Aya bangkit seperti disengat listrik. Gadis itu buru-buru memasukkan semua barang yang tercecer ke tas jinjingnya.

"Jun, gue duluan!"

"Eh, saya anter—"

Ucapan Juna belum selesai waktu Aya berlari sepanjang koridor FISIP.

***

Mobil itu berhenti di depan rumah Aya. Gatra mematikan mesin. Membiarkan sekitar sempurna hening.

Perut Aya mulas. Sepanjang jalan tidak ada percakapan di antara mereka. Apa pun itu, yang membuat keduanya berjarak, harus dibahas sekarang juga.

"Gat—"

"Kalau aku nggak ke kampus, kamu pulang bareng dia lagi?"

Aya membeku. Kesimpulan terbentuk cepat di benaknya. Gatra bukan hanya tahu dia berbohong soal belum pulang dari kampus kemarin, laki-laki itu juga tahu siapa yang mengantar pulang Aya.

"Aku minta maaf."

"Karena?"

"Karena udah bohong sama kamu. Aku... aku nggak mau kamu kepikiran aku pulang sama siapa, makanya aku bilang aku udah di rumah."

Gatra diam, jadi Aya merasa itu kesempatannya menjelaskan.

"Kemarin aku habis mentorin Juna buat diklat Warkom. Udah malem juga, jadi dia nawarin buat nganterin. Katanya ucapan terima kasih—"

"Nggak bisa bilang dijemput pacarmu?"

Aya menelan ludah. "Ya bisa, Gat. Tapi kemarin aku nggak enak, kamu habis beresin apart—"

"Sejak kapan kamu jadi orang nggak enakan, Ya?"

Aya merasa tubuhnya menggigil. Gatra memanggilnya 'Ya', bukan 'Ay', pertanda laki-laki itu benar-benar marah.

"Maaf."

"Kamu nggak pernah bohong gini."

"Iya, maaf, Gat. Nggak aku ulangin lagi."

Gatra menghela napas, menyandarkan kepalanya ke jok. Laki-laki itu menoleh ke samping, menyentuh dagu Aya lembut sampai menghadap ke arahnya.

"Aku percaya kamu, Ay."

Aya merasa perutnya ditonjok waktu melihat sorot kecewa di mata Gatra.

"Hampir empat tahun kita sama-sama, aku selalu percaya kamu." Laki-laki itu mengusap pipi Aya. "Boleh aku minta tolong satu hal sama kamu?"

Aya mengangguk lemah.

"Jangan hancurin kepercayaan aku, ya?"

bersambung

Quarter Love CrisisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang