QLC #17: Krisis Ruang Tunggu

2.2K 351 40
                                    

"Kalau nanti kita nikah, kamu mau punya anak berapa?"

"Kok 'kalau', sih?"

"Yah, siapa tahu besok kamu ketemu cewek yang lebih cantik, lebih sabar, nggak galak—"

"Namanya Aya, nggak?"

"Hah?"

"Kalau namanya bukan Aya, aku enggak mau."

"Kalau namanya Aya, tapi bukan aku, gimana?"

"Ya gapapa, yang penting namanya Aya."

"Gatraaa!"

Gatra tertawa puas mendengar protes lantang Aya. "Iya, iya, enggak. Aku maunya sama cewek yang namanya Aya, cantik, nggak sabaran, galak, suka marah-marah—"

"Ih—"

"Terus... tinggalnya di Graha Dewata, punya kakak namanya Lala, adek namanya Abim dan Tata. Yang namanya Tata harus selebgram juga."

Aya ganti tertawa. "Terus yang namanya Abim harus jail. Yang namanya Lala harus bossy abis. Terus..."

Gatra tersenyum, menatap Aya yang sedang berbaring di sisinya. Kepala gadis itu bertumpu nyaman di lengan Gatra yang terulur. Gatra tidak pernah suka berbaring lama-lama di tempat tidur, tapi kalau ada Aya, rasanya laki-laki itu tidak mau bangun. Beban kepala Aya, hangat tubuhnya, wangi parfumnya, helai-helai rambutnya yang mencuat tak tentu arah. Gatra bisa mendengarkan gadis itu mengoceh sepanjang malam tanpa bosan. Kritik-kritik tajam soal kebijakan pemerintah, sindiran halus pada dewan kampus, sarkasme di bibirnya yang lama-lama ingin Gatra bungkam dengan ciuman.

Orang-orang bilang Aya selalu jadi sosok yang berbeda saat bersamanya. Lebih banyak bicara. Lebih ceria. Lebih santai. Gatra rasa, justru itu sosok Aya yang sebenarnya. Sosok yang tidak Aya tampilkan ke semua orang karena takut terluka.

Kalau dipikir-pikir, Aya sudah menempuh banyak peperangan selama hidupnya. Ada bekas-bekas luka tak kasat mata di sekujur tubuhnya yang tidak pernah mau banyak ia ceritakan pada Gatra. Hanya sekali, waktu mereka masih remaja tanggung. Malam yang tidak akan pernah Gatra lupakan.

Tapi semakin hari, semakin Gatra mengerti. Gatra tidak perlu menuntut Aya bicara apa-apa. Aya boleh diam selamanya dan Gatra akan tetap mencintainya.

"Kalau aku enggak mau punya anak, kamu masih mau sama aku nggak, Gat?"

Gatra mengerjap. Sebelum akhirnya menggeser posisinya, bertumpu pada satu siku untuk menatap Aya tepat di kedua netranya. Jemari Gatra menyentuh ujung hidung Aya. Mengusap pipinya. Bermuara di dagunya.

"Kita bakal punya berapa pun anak yang kamu mau."

Gatra tidak pernah bertanya 'kenapa'.

"Nggak sama sekali pun, nggak apa-apa."

Gatra tidak perlu mempertanyakan hal-hal yang mungkin tidak pernah punya waktu untuk sembuh bagi Aya.

"Buatku, kamu udah cukup."

Mata Aya berkilau seperti permata. Ujung bibirnya melengkungkan senyum. Senyum yang mahal, kata orang-orang. "Jangan tinggalin aku ya, Gat?"

Kalau Gatra tidak dibesarkan oleh Papi dan Mami yang menjunjung tinggi prosesi sakral pernikahan, mungkin detik itu juga dia akan berlutut dan melamar Aya agar gadis itu percaya padanya. "Aku di sini, Ay... apa pun yang terjadi, aku nggak akan pernah ninggalin kamu."

Aya mengubur wajahnya di perpotongan leher dan dada Gatra. "Apa pun?"

Gatra mengecup puncak kepala gadisnya. "Apa pun."

Quarter Love CrisisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang