QLC #3: Krisis Kakak Tingkat

4.3K 1K 49
                                    

Hal pertama yang Juna perhatikan dari Aya adalah kakak tingkatnya itu nyaris tidak pernah tersenyum. Kecuali kalau kedutan jutek di bibirnya setiap kali mendengar opini bodoh dihitung.

Juna cuma pernah melihat senyumnya sekali. Di depan Gatra Januar Ragaswara, yang sudah dia telusuri kisah hidupnya sampai muak demi mengesankan Aya (tapi toh hasil risetnya tidak dilirik sama sekali, harusnya dia tidak banyak berharap). Senyum Aya manis. Dan karena gadis itu tidak melemparnya ke sembarang orang, juga terasa mahal.

Menyebalkan memang, bagaimana Juna jadi begadang cuma gara-gara satu kakak tingkat perempuan. Dia menyebutnya 'efek Asmara Prajna'. Gara-gara efek itu juga, sekarang dia punya rencana.

"Mau ambil angle gimana, Mbak?"

"Pertama kalinya anak kampus kita tembus Kemenlu dengan test score paling tinggi. Gimana?"

Juna menggumam, meski tahu benar gumamannya itu mengusik Aya. Aya paling benci idenya diragukan. Masalahnya, perempuan itu tidak ingin dipaksa meyakinkan orang lain seberapa brilian ide yang dia punya. Menurutnya itu buang-buang waktu (karena idenya sudah pasti brilian).

"Lo punya input lain?" Sekarang nadanya berubah jadi lebih galak dan mendesak. Desakan itu umumnya berhasil membuat orang buru-buru menyetujui idenya, tapi tidak dengan Juna.

"Saya kayaknya pernah baca nama Ragaswara, deh, di tempat lain."

Aya menggertakkan geraham.

"Januar Ragaswara! Inspektur Jenderal Kementerian Luar Negeri periode ini, kan?" tanya Juna semangat. "Kira-kira masih ada relasi sama Mas Gatra nggak, ya, Mbak?"

Aya memasang ekspresi default-nya: siap mencekik lawan bicara. "Ada." Kemudian alisnya diangkat setengah senti, seolah menantang. "Gatra anak Om Januar."

Kalau batin bisa bicara, milik Juna sudah bersorak gembira.

"Oh?" Mata laki-laki itu dikedipkan. "Kenapa kemarin sama sekali nggak disinggung, ya, sama Mas Gatra?"

"Ngapain? Jabatan Om Januar nggak ada sangkut pautnya sama proses dia apply jadi diplomat, kan?"

"Saya nggak bilang ada sangkut pautnya, tapi—"

"Tapi otak amatir lo kebaca banget," ketus Aya. "Aturan nomor satu nulis rubrik inspiratif ya objektif. Bukan spekulatif. Lo nggak lagi bikin prediksi cuaca. Lo nulis fakta."

"Mas Gatra anaknya Januar Ragaswara, bukan fakta?"

"Fakta yang punya potensi menggiring opini."

"Publik bebas beropini, dong."

"Publik itu goblok. Media yang kontrol opini mereka. Jangan naif-naif, lah."

Juna menggigit bibir, menahan rasa terpesona yang tiba-tiba saja membuncah. Galak banget. "Jadi Mbak Aya yakin, Mas Gatra diterima bukan karena nepotisme?"

Aya berdiri. "Kalo lo punya data valid, gue yang tulis bagian nepotismenya."

"Nggak ada, sih, Mbak." Juna buru-buru menyahut. "Cuma pengen mastiin aja Mbak Aya nggak ada keberpihakan. Harus netral, kan, jurnalis?"

"Gue setuju." Aya tersenyum paksa dan mencabut tasnya yang tergantung di punggung kursi. "Dan karena menurut lo gue nggak cukup netral buat jadi jurnalis, mending lo sendiri yang nulis."

Persis begitu gadis itu keluar ruangan, bahu Juna refleks melemas. Hal terakhir yang ingin dia lakukan adalah menulis 750 kata sendirian soal pencapaian Gatra Januar Ragaswara, bajingan beruntung yang punya segalanya, termasuk cewek se-kelas Asmara Prajna.

bersambung

Quarter Love CrisisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang