-XVIII-

287 14 1
                                    


Suara gedoran keras dan teriakan panggilan nama Aldi di pintu kamar hotel mengagetkan mereka berdua.


"DII ALDIII, LU NGAPAIN LAMA AMAT INI PACAR LU NYARIIN"


Aldi bergegas memakai celana dan lupa mematikan video callnya, ia biarkan hp tergeletak di kasur begitu saja. Moodnya sedikit buruk akibat gagal mencapai kenikmatan.

"Ada apa mas?"


Laki-laki berbadan kekar itu langsung menyodorkan panggilan video ke depan muka Aldi, dengan isyarat nanti dia akan kembali mengambil handphonenya.


"Sayang kamu lagi telpon siapa? Kok nadanya sibuk terus udah sejaman?" tanya tajam gadis itu. Aldi menggaruk kepalanya kebingungan.


"Eng—enggak telpon siapa-siapa, em—kayaknya handphone aku belum ganti ke data roaming deh" jawabnya asal tapi berdoa dalam hati semoga Lita tidak semakin curiga.


"Oh pantesan chat aku juga belum dibales" . Aldi bernafas lega.


"Iya tadi habis photoshoot aku ketiduran yang" katanya tersenyum menunjukkan deretan gigi putihnya.


"Ayangg kangeen, padahal baru sehariii huhuhu,, aku susul yaah ke Toronto". Aldi mengigit sedikit bibirnya. Ia bukan tidak senang hanya saja dia sedang bekerja bersama brand ternama dan tujuh artis besar lainnya, kalau Lita nyusul apa kata yang lain. Bisa-bisa ia dikira tidak professional.


"Bukannya kamu ada kerjaan ya?" nada Aldi sedikit berubah.


"Ada kosong tiga hari yang" Lita sedikit memaksa.


"Itu sih habis di jalan yang, kesini kan lama" meski sedikit kesal, Aldi tetap menjawabnya dengan sabar.

Lima belas menit mereka bicara, Aldi mengakhirinya dengan alasan tidak enak pada si empunya handphone, mas Levi, teman sekamarnya di junior suite ini selama brand campaign di Toronto. Aldi berjanji akan menghubunginya bila ada waktu kosong. Baru saja mau beranjak, mas Levi sudah berjalan ke arahnya sambil menengadahkan tangannya, tidak sabar meminta hp nya kembali.


"Hehe, maaf mas" . Aldi menyerahkan hpnya.


"Tadi gua kira lu telpon sama Lita mana senyum lebar banget sampai niat pindah ruangan. Lu telpon siapa sih Di? sampai pacar lu nyariin kebingungan gitu."

Baru saja Aldi ingin menjawab, sudah dipotong lagi.


"Bukan maksud gua ikut campur sih, tapi kayak buronan aja lu dicariin segininya. Kesian aja gua sama lu"


"Gapapa mas, sudah biasa. Memang gitu, gue kalo nyariin Lita juga begitu kok mas". Aldi tersenyum sedikit tidak enak, mau bagaimanapun Lita tetaplah pacarnya.


"Yaudah. Dua jam lagi pemotretan city light Di, jangan ketiduran." Lelaki kekar berjenggot tipis melirik bagian tengah celana Aldi dengan tatapan aneh sebelum kembali ke kamarnya. Junior suite memiliki dua kamar tidur yang berbeda, seperti apartemen dengan 2BR.

Aldi menghela nafas panjang merebahkan dirinya dan mengambil hp yang dari tadi dicampakkan. Tampak Rama sudah memakai kacamata, sweater tipis lengan panjang yang menutupi buku jarinya sedang serius di hadapan laptopnya.


"Ram?"


"Hmm?" sahutnya tanpa menoleh.


"Gue kira udah lo matiin"

Aldi menatap Rama dalam-dalam. Kontrak milyaran rupiah, pesawat first class, kamar hotel semewah ini, acara dengan orang-orang terkenal lain, tidak bisa menutupi sebuah rongga yang menganga di hati Aldi yang biasanya dengan mudah ditutupi oleh kehadiran Lita. Hidup ini memang sebuah kekonyolan belaka.


Kali ini Rama menatapnya. "I already promised you to stay".


Rongga kosong itu seketika menutup. Di antara rasa ingin tersenyum lebar dan menangis, Aldi memilih untuk mengumpulkan keberanian dan berkata.


"I wish you are here— with me".


"Resleting lo kebuka"


.


Rama meletakkan kacamata dan mematikan laptopnya. Akhirnya ia bisa serius mulai mengerjakan bentuk konsep thesisnya setelah Aldi menutup panggilan videonya untuk melanjutkan pekerjaannya.

Rama memijat pelipis, hatinya ciut mendengar pembicaraan tadi, hal-hal seperti ini tidak mungkin bisa disembunyikan selamanya. Ia sedang bermain api dan takut terbakar sendiri. Bagaimanapun ia menyusun skenario, ia tahu pasti takkan berakhir baik. Pilihan logis satu-satunya hanyalah keluar dari situasi ini. Kembali ke kehidupan comfort zone miliknya.


"I wish you are here too" Rama memeluk bantal.

Snatch him, Snatch him kata-kata terakhir Alfred terngiang-ngiang bagai lagu pengantar tidur setiap malam sejak hari itu, seakan berusaha merusak logika otaknya.


'Remember that this will never end well'



[ Boys Love ] The UntoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang