-XIX-🔞

595 15 1
                                    


Ini adalah hal yang paling Aldi takutkan, melihat Rama yang tak lagi merespon apapun. Tidak peduli apapun. Seakan akan tidak ada satu manusia pun yang mampu menggapainya. Tidak tangan dokter. Tidak juga tangannya.

Ketika Aldi membisikkan nama Rama berulang kali di telinga pemuda yang tengah tergolek lemah di ranjang rumah sakit tersebut, usaha itu tampak sia-sia. Rama tidak lagi bisa mendengar suaranya. Ia tak akan lagi membalas panggilannya dengan senyum sedih itu.

Aldi ada di sana ketika dokter melakukan usaha resusitasi pada Rama. Mereka membuka robe rumah sakit Rama, memampangkan dada telanjangnya yang tak lagi bernafas, menekan dada Rama berulang kali dengan sangat dalam untuk melakukan prosedur CPR dan itu berlangsung lama, melelahkan, hingga mereka harus bergantian. Mereka

Melihat kondisi Rama yang tidak juga membaik, mereka terpaksa membuka saluran nafasnya dengan laryngoscope, memasukkan selang pernapasan, lalu merekatkan selang intubasi tersebut dengan selotip memanjang pada bibir tipis berwarna merah muda pucat tersebut. CPR terus dilakukan. Seratus kali tekanan dalam semenit dengan tekanan sedalam 5 cm agar jantung Rama bisa kembali berfungsi.

Yang paling mengerikan dari semua hal yang dilihatnya adalah wajah tidak peduli Rama. Ia tampak sedang tertidur nyenyak, tanpa rasa sakit, dan seakan tidak peduli lagi pada apa yang akan terjadi. Ia tampak tidak berusaha untuk kembali. Barangkali memang seperti itu adanya.

Ia memang tidak berniat kembali.

Medis mulai memasang patch elektroda pada tubuh Rama. Ritme detak jantung Rama yang tak beraturan tampak pada layar monitor. Dokter memberi instruksi.

"Clear."

Mereka semua menjauh dari tubuh Rama. "Clear."

Suara desing mesin melengking ketika dua paddle defibrillator menyentuh bagian bawah bahu kanan dan bagian bawah dada kiri Rama. Tubuh itu menghentak dan langsung jatuh terkulai ke tempat tidur.

Mereka memeriksa pupil mata, ritme jantung, dan kondisi vital lainnya. Dokter memerintahkan pemberian ephinefrine melalui selang infus sembari kembali menekan dada Rama dalam-dalam.

Wajah tampan itu masih begitu pucat dan tampak tak peduli. Aldi ingin mendatanginya saat ini juga lalu menamparnya keras keras. Ia menahan keinginan itu dengan mengepalkan tangannya keras-keras. Rahangnya mengatup kencang dan gigi giginya mulai bergemeletuk. Namun matanya... ia tidak bisa menghentikan cairan asin itu keluar dari dua bola matanya. Ini pertama kalinya ia mengeluarkan air mata sebanyak ini. Ia merasa sesak, seperti akan mati. Seperti akan mati.

"My death time will be the most lonesome death ever. Noone will come. Noone would care." Rama berkata demikian hari itu. "I have no family, no friend, noone love me. Including you, you'll never be there. Because I was never being your priority. Well... I just remembered... I am nobody's priority."

"Clear."

CPR dihentikan, semua orang menjauh dari tubuh indah yang tampak begitu pucat.

"Clear."

Kejatan listrik kedua dilakukan. Tubuh Rama kembali terhentak sebelum kemudian terkulai kembali. Tubuh itu bukan seperti milik Rama lagi.

[ Boys Love ] The UntoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang