3. Dua malaikat pencabut nyawa.

10K 594 6
                                    

Aku bosan, betul betul bosan mendengar, mendengar celotehan, dan rengekan manja Bila, bercerita tentang kak Kafkah dan kak Zains, dan tentunya permohonannya untuk kembali ikut ke rumah, tidak peduli kulitnya yang sensitif, atau gampang merah itu akan gosong di makan terik matahari, yang kubalas dengan dengusan atau berkata cuek "kalau jodoh untuk bertemu pasti akan bertemu juga!!" yang dibalasnya dengan pelototan, dan di akhiri dengan rengekan manjanya.

******

Saat istirahat tiba, dimana orang orang, berbondong bondong kekantin mengisi perut mereka, aku hanya melangkahkan kakiku ketaman belakan sekolah, menghabiskan bekal yang Ibu siapkan untukku, biasanya aku di temani oleh Bila, menghabiskan bekalku bersama, tapi dengan berat hati tadi Bila mengatakan tidak bisa menemaniku makan siang hari ini, karna Kak Dika anak kelas sepuluh yang telah lama di incarnya mengajaknya makan siang bersama.

Aku terharuh dan senang karna dia terlalu memikirkanku, dan membicarakan hal yang tidak perlu di bicarakan, aku hanya tersenyum manis kearahnya, dan menyuruhnya segera menyusul kak Dika yang sudah berjalan kearah kantin, aku senang karna cintanya selama ini sudah terbalaskan.

Baru saja aku duduk di bangku taman dibawah pohon tempatku biasa menghabiskan makan siangku.

Aku merasakan semuah tubuhku telah basah, di guyur air kotor yang bisa aku perkirakan adalah air pel tukang bersih bersih sekolah tadi pagi, pakaian sekolahku sudah tidak karuan, noda kecoklatan di mana mana, di iringi suara tawa yang membahana di sekitarku, mereka menertawakanku, di sana aku melihat Andin dan kawan kawannya seperti biasa, tapi aku masih bersyukur tidak ada campuran telur busuk di dalamnya, dan Bila tidak ada di sini, seperti yang kemarin kemarin.

"Kenapa kalian melakukan ini semua?", tanyaku baik baik, berjalan pelan kearahnya yang aku tahu itu sedikit menggoyahkannya, tapi itu di tutupinya dengan cepat, sebenarnya aku bisa melawan mereka, aku mengusai Taykondo, sabuk hitam,

Siapa lagi yang mengajariku kalau bukan kak Aira,

Tapi aku tidak melakukannya aku masih menghargai mereka, sebagai kakak kelasku, dan Andin  adalah anak kepala sekolah, yang selalu baik padaku.

"Masih bisah loh bertanya?,  jawabanya tetap sama karna loh hanya anak seorang pembantu!!, loh tidak pantas sekolah di sini, jika karna beasiswa dan nilai loh yang tinggi gue, yakin loh sudah lama di tendang dari sekolah ini, dan jangan sok keganjenan dengan kak Rangga!, karna kak Rangga hannya milik gue!!". desisnya sinis, mendorongku kebelakang, tapi aku tidak bergeming sama sekali, dia jengkel melihat aku sama sekali tidak jatuh,  seperti yang lalu lalu, dia berbalik pergi dan di ikuti juga semua orang yang menertawakanku tadi.

Aku melirik sekitarku dangan ujung mata, dari sini bisa aku lihat kak Rangga melihat kearahku?, "Mungkinkah dia peduli?", bisik dewi batinku, "Tapi itu tidak mungkin!", teriak batinku lagi, menyangkal semua pemikiranku, "Tapi untak apa dia di sana?", bisiknya lagi.

Aku menggeleng kuat kuat menghilangkan pergolakan batinku, segera melangkah kearah kelasku berada yang sebelumnya memungut bekal dan air mineralku yang telah berserakan di tanah.

Sedikit mempercepat langkahku, tidak peduli dengan orang orang yang memandangku aneh, dan kasihan, yang jelasnya aku harus kekelas mengambil tasku, tempat di mana seragamku berada, yah.., aku membawa seragam lain untuk sekedar berjaga jaga jika kondisiku seperti ini, aku ingin segera membersihkan diriku.

Tapi belum sempat aku sampai kedalam kelas, seseorang menarik lenganku dengan kuat, refleks aku mengambil ancang ancang ingin membanting orang itu, tapi belum sempat aku melakukannya, kedua tanganku telah di kunci kebelakang punggungku, aku tidak tinggal diam, aku menginjak kakinya dengan keras, dan segera membalikkan suasana, kini giliranku mengunci tubuhya, tapi itu juga yang membuatku gelagapan, melihatnya.

Raniah Hanum Suparman 2 {Story 8}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang