09. Aksa

9 5 0
                                    

Malam ini suasana caffe tampak sepi. Belakangan ini sering sekali turun hujan, sehingga membuat sebagian orang malas untuk keluar rumah. Apa lagi di malam hari seperti ini.

Acleo masih mengenakan seragam sekolahnya, berdiri di meja pesanan
menunggu pelanggan yang datang dan membeli.

Acleo setelah pulang sekolah ia langsung menuju ke caffe untuk bekerja. Ia tidak pulang untuk makan atau beristirahat dulu. Karena ia tidak enak dengan paman yang sudah sangat baik mau membantu nya. Dengan menerima nya sebagai seorang barista di caffe milik paman. Acleo tidak setiap hari bekerja di caffe ini, ia hanya bekerja ketika ia memiliki waktu luang dan memang memerlukan uang untuk kebutuhannya. Namun, paman tidak mempermasalahkan nya. Ia paham bagaimana keadaan keluarga Acleo.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam, namun tidak kunjung satupun pelanggan yang datang dan membeli coffe.

Paman pemilik caffe memutuskan untuk tutup lebih awal dan buka lagi kembali besok dengan lebih awal.

"Leo sudah, kita tutup saja ya. Kita buka lagi besok. Kalau bisa lebih awal. Semoga besok cuacanya mendukung. Kamu pulang dan istirahat ya." paman menyuruh Acleo untuk segera pulang dan beristirahat di rumah.

Acleo hanya mengangguk paham dengan perkataan paman.

Acleo segera merapihkan meja dan menggendong tas sekolahnya. Setelah merapihkan sisi dalam caffe. Acleo bergegas untuk keluar.

Sorot lampu mobil yang berjalan dan berhenti tepat di depan caffe. Ketika Acleo sedang mencoba untuk mengunci pintu caffe.

Seorang pria mengenakan kemeja putih serta jas hitam, dan dasi hitam yang terikat rapih di lehernya. Acleo sempat tidak mengenali pria itu. Namun, setelah ia mendengar suaranya ia tau, pria itu adalah kepala sekolah di SMA tempat ia bersekolah. Yang tidak lain adalah, ayah dari Gavin.

"Kenapa sudah tutup?," tanya pak Dean kepada Acleo dan paman pemilik caffe.

"Caffe sepi hari ini belum ada satupun pelanggan yang hadir dan membeli. Jadi kami memutuskan untuk tutup lebih awal." paman memberitahu pak Dean apa alasan caffe tutup lebih awal.

Acleo hanya terdiam bingung melihat pak Dean yang tiba-tiba datang berkunjung ke caffe tempatnya bekerja. Dan memakai pakaian yang sangat rapih, di malam hari seperti ini.

Acleo membukakan kembali pintu caffe yang telah ia tutup. Acleo mempersilahkan pak Dean untuk masuk dan duduk di salah satu kursi caffe.

"Mau coffe hangat pak?," tanya Acleo kepada pak Dean.

"Saya mau coffe satu cangkir saja. Tetapi, saya tidak ingin coffe yang di buatkan oleh Acleo." pinta pak Dean menyuruh paman pemilik caffe saja yang membuatkan coffe untuk nya.

Acleo hanya terdiam, dan menunduk, berdiri di samping sisi pintu caffe.

"Kemari." ucap pak Dean kepada Acleo. Sembari melambaikan tangannya meminta Acleo untuk mendekatinya.

Acleo mematuhi perintah pak Dean, dan berjalan menuju arah meja yang sedang pak Dean duduki.

"Kamu kerja buat dapatkan uang untuk pendaftaran Olimpiade?," pak Dean bertanya pada Acleo. Acleo hanya mengangguk menanggapi pertanyaan pak Dean.

"Kamu butuh uang 250 ribu kan?, ini saya kasih. Kamu ga perlu balikin uang ini. Saya ikhlas kasih ini untuk kamu. Kamu ga perlu bekerja lagi. Fokus belajar buat Olimpiade nya." pak Dean mengeluarkan dompet dari saku celananya. Dan meletakkan uang sejumlah 250 ribu rupiah di atas meja.

Acleo membaringkan badannya di ranjang tempat tidurnya. Ia sudah bersiap-siap untuk segera tidur. Namun kepala Acleo masih terpikirkan tentang pak Dean yang begitu saja memberi uang kepadanya. Acleo sempat menolak uang yang di berikan oleh pak Dean. Namun, pak Dean bersikeras menyuruh Acleo untuk mengambil uang yang ia berikan.

*****

Acleo sudah bersiap , ia sangat semangat untuk melakukan pendaftaran lomba Olimpiade Nasional. Acleo menemui Bunda untuk berpamitan.

"Bunda, Acleo mau mendaftar buat Olimpiade Nasional bun, pendaftarannya dikenakan biaya. Tapi Alhamdulillah, Ayahnya Gavin baik banget bun sama Leo. Dia kasih Leo uang 250 ribu untuk biaya pendaftaran. Do'ain Leo ya Bun, semoga bisa menang nanti. Hadiahnya lumayan Bun, dapat biasiswa di Universitas besar di Indonesia." Acleo sangat senang bisa mengikuti Olimpiade Nasional ini. Ini benar-benar adalah impian terbesar Acleo yang sangat ia impi-impikan.

"Leo yakin mau ikut nak?," tanya Bunda.

Acleo hanya mengangguk dan tersenyum mengiyakan pertanyaan Bunda.

"Leo kamu tau nak?,"

"Tau apa Bun?," Acleo bertanya kembali kepada Bunda.

"Jadi gini, Bunda belum cerita ke Leo soal ini. Kalau Bunda harus berobat jalan nak bulan ini. Biayanya 500 ribu karena ada perawatan khusus. Doctor bilang. Penyakit Bunda sudah mulai parah. Kalau ga di obatin sekarang. Nanti bisa makin parah nak. Bunda baru punya 250 ribu. Kurang 250 ribu lagi nak." tutur Bunda pada Acleo.

"Bunda, kalau Bunda memang perlu. Bunda boleh pakai uang ini Bun. Leo gapapa ga ikut Olimpiade nya. InsyaAllah bisa ikut kalau Allah kasih Leo kesempatan lagi. Yang penting Bunda sehat." Acleo memberikan uang yang ingin ia gunakan untuk pendaftaran Olimpiade kepada Bunda.

"Tapi nak, bener gapapa?, ini kesempatan terbaik buat Leo loh." Bunda kembali bertanya kepada Acleo untuk mempertimbangkan keputusan Acleo.

"Iya Bun, yang terpenting itu kesehatan Bunda." Acleo membulatkan keputusannya. Bunda tersenyum manis dengan keputusan anak laki-laki nya itu yang sangat peduli kepada dirinya.

"Terimakasih anak Bunda." Bunda mengusap-usap kepala Acleo dengan lembut.

*****

Acleo sedang duduk sendiri di taman halaman tengah sekolah. Melihat anak-anak lainnya sedang bermain bersama teman-teman nya. Guru Fisika yaitu Bu Tasya. Datang menghampiri Acleo yang sedang duduk sendiri dan hanya terdiam.

"Acleo gimana?, ikut untuk Olimpiade Nasional?," Bu Tasya bertanya pada Acleo dan duduk di sebelahnya.

"Maaf Bu, saya tidak bisa mengikuti Olimpiade ini. Mungkin jika ada kesempatan berikutnya. Saya akan ikut, InsyaAllah." Acleo menjawab.

"Kenapa nak alasannya?, biasanya kamu adalah siswa yang paling bersemangat jika ada perlombaan Olimpiade?," Bu Tasya memberikan pertanyaan lagi kepada Acleo untuk mengetahui apa alasan jelas siswa yang senang dengan Olimpiade ini.

"Maaf jadi gini Bu, Bunda saya harus di rawat jalan. Karena penyakit Bunda saya semakin memburuk. Jadi saya memberikan uang yang saya punya untuk biaya pendaftaran Olimpiade kepada Bunda untuk biaya pengobatan." Bu Tasya hanya mengangguk paham dan tersenyum melihat hati lugu Acleo yang lebih mementingkan Bundanya ketimbang dirinya sendiri.

"MasyaAllah Acleo kamu baik banget nak. Sayang sekali ya Cleo. Tapi, gapapa pasti ada kesempatan lagi. Titip salam ya nak buat Bunda, semoga lekas sembuh." Bu Tasya tersenyum, sembari menepuk pundak Acleo, dan pergi meninggalkan Acleo.

Acleo pergi meninggalkan tempat yang ia duduki, dan berjalan menuju kelas.

Pak kepala sekolah berdiri tidak jauh dari tempat yang sedari tadi Acleo duduki. Acleo berharap jika pak kepala sekolah tidak mendengar percakapan singkat antara Acleo dan Bu Tasya tadi. Atau tidak, Acleo tidak tau hukuman apa yang ia dapat. Tapi saat itu, Bunda lah yang terpenting. Jika pak kepala sekolah tidak sengaja mendengar percakapan itu. Acleo berharap jika ia bisa mengerti.

Acleo berjalan mendekati pak kepala sekolah yaitu pak Dean, dan mencium tangannya. Pak Dean hanya diam saja saat itu melihat anak-anak yang sedang menikmati waktu istirahat nya.

*****

Bagaskara yang hangat selalu menemani hari-hariku. Terkadang, Daksa ini sering terjatuh. Namun aku memilih untuk menjadi Renjana. Dalam Aksa, Kejauhan.

ACLEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang