MS - 1

6.1K 124 9
                                    

"Ini Arlan?" Tanya Ita saat Arlan menyalaminya.

"Iya, Bi." Jawab Arlan. Laki-laki jangkung dengan garis ketampanan yang cukup jelas terpampang.

"Ya ampun, udah gede." Ita surprise.

"Pangling ya?" Tebak Risma saat melihat ekspresi adiknya.

"Iya. Jarang ke Sukabumi atuh da ya." Ujar Ita yang diangguki Risma juga Arlan.

Jika Risma sering berkunjung dua sampai tiga bulan sekali ke rumah adiknya di Sukabumi, berbeda dengan Arlan yang sangat jarang bahkan mungkin hanya momen hari raya saja ia berkunjung, itu pun bukan ke rumah Ita. Tapi ke rumah peningggalan orangtua Risma dan Ita, kakek nenek Arlan.

"Ehh Nesa mana?" Risma mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru.

Mendengar nama Nesa, tiba-tiba Arlan merasakan jantungnya berdebar kencang. Nesa? Bagaimana dia sekarang? Terakhir bertemu saat aku kuliah dan dia SMP. Batinnya.

Maklum selain biasanya berkunjung ke rumah Aki Nini saja, mereka benar-benar jarang bertemu dalam satu waktu. Arlan di Sukabumi, Nesa sibuk dengan teman-temannya. Saat Nesa ikut menyusul Ita ke rumah Aki Nini. Biasanya Arlan sedang keluar mencari makan atau sekedar berkeliling Sukabumi.

"Nesa belum pulang kuliah." Jawab Ita. Risma pun mengangguk mendengar jawaban adiknya itu. "Ayo, makan dulu. Udah disiapin." Ajak Ita.

"Ehh kok jadi ngerepotin gini?"

"Nggak. Ayo." Ajak Ita. "Pasti capek kan ya habis perjalanan Jakarta-Sukabumi. Macet nggak tadi?"

"Biasa macet di pasar Cibadak aja. Tadinya mau lewat jalan alternatif, lupa belok akhirnya...."

Obrolan ringan seputar perjalanan Jakarta-Sukabumi masih terdengar di telinga Arlan. Tapi netra Arlan malah asyik berkeliling penjuru rumah. Satu foto menarik perhatiannya. Matanya terpaku.

Itu.... Nesa? Batinnya.

"Assalamu'alaikum."

"Waa'alaikumsalam." Sahut Ita, Risma dan juga Arlan.

Berbeda dengan Ita dan Risma yang membalas salam Nesa dengan senyuman hangat, Arlan menyambut dengan tatapan tanpa kedip.

"Nes..." Sapa Risma.

"Tan..." Nesa menyalami Risma lalu Ita, ibunya.

"Salam juga dong ke A Arlan." Titah Ita. Nesa mengangguk, berjalan perlahan lalu mengulurkan tangan. Menyalami kakak sepupunya itu santun. Arlan salah tingkah.

"Nes..." Lirih Arlan. Nesa tersenyum manis menanggapinya.

"Nes, ayo ganti baju. Kita makan siang bareng-bareng."

"Iya, Bu." Angguk Nesa. "Permisi."

Arlan mengikuti dengan sudut mata. Sedikit demi sedikit bibirnya memampangkan senyuman.

Sepanjang makan siang, Arlan tampak grogi. Sesekali ia mencuri pandang Nesa. Adik sepupu yang dulunya hitam, rambut sebahu dan berponi, pipi chubby kini berubah menjadi putih, rambut panjang tanpa poni dan pipi agak tirus. Agak karena masih ada jejak chubby yang dulu.

Satu yang pasti. Nesa dewasa tidak sekaku Nesa kecil. Di mana Nesa kecil pemalu dan pendiam. Sedang Nesa saat ini humble dan easy going.

"Semester berapa, Nes?" Tanya aarlan membuka pembicaraan.

"Baru semester 4."

"Ohh... Ambil apa?"

"D3 Manajemen Informatika."

Menikahi SepupuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang