MS - 21

1.3K 55 9
                                    

Arlan sebenarnya sudah bangun semenjak tadi. Tapi ia enggan bangkit dari tempat tidur terlebih Nesa tengah tertidur dalam pelukannya. Meski sempat marah besar, ia tidak tega menyakiti perempuannya itu.

Nesa menggeliat. Sudut bibir Nesa pun terangkat.

"Jam berapa ini?" Tanya Nesa sembari mengucek mata.

"Jam lima pagi." Bisik Arlan.

"Ohh..."

"Aku mau mandi dulu, mau sholat." Arlan pun merasa punya kesempatan melepaskan pelukan Nesa.

"Hmmmm..." Bukannya melepaskan, Nesa malah menggoda Arlan dengan mempererat pelukannya.

"Nesa?!" Protes Arlan. Nesa tergelak. Dilepaskan pelukannya. Arlan segera beranjak ke kamar mandi.

Nesa yang sedang halangan memilih kembali terlelap. Ia masih mengantuk. Sedang Arlan ia bergegas mandi dan sholat subuh.

"Ini..." Arlan mengusap kepala Nesa lembut. "Mentang-mentang lagi haid." Seloroh Arlan kemudian.

"Hmmmm..." Nesa menarik Arlan.

"Ada apa, Sayang?"

"Pulang hari ini?"

"Iya."

"Kapan ke sini lagi?"

"Mudah-mudahan Sabtu bisa ke sini." Ucap Arlan. Nesa segera menatap suaminya.

"Kok mudah-mudahan?!" Tanya Nesa dengan dahi berkerut.

"Kan harus input nilai."

"Kalau aku yang ke Jakarta, boleh?"

"Boleh dong."

"Oke."

"Ada apa mau ke Jakarta? Tumben... mau nagih surat cer...."

"Ohh... Keukeuh mau?! Nggak diservis lagi lho." Ancam Nesa. Arlan tergelak.

"Kalau nanti digituinnya sama yang bawah, boleh?"

"Boleh, kan punya A Arlan."

Sungguh ucapan Nesa barusan membuat Arlan berbunga-bunga. Ia benar-benar merasa memiliki Nesa seutuhnya saat ini. Dikecupnya mesra kening Nesa.

"Nes, mau sarapan apa? Soalnya kemarin aku pesen satu pack doang."

"Makan berdua boleh nggak? Abis itu beli ketupat sayur yuk."

"Boleh." Sahut Arlan. "Siapa?" Tanya Arlan kemudian saat tahu ponsel Nesa bergetar.

"Mama Risma."

"Sini biar aku yang terima." Rebut Arlan yang tidak ingin Nesa kena marah atau dapat wejangan dari Risma. "Iya, Ma." Sapa Arlan saat sambungan telepon terhubung.

"Arlan?"

"Iya ini Arlan anaknya Mama. Siapa lagi."

"Kamu lagi sama Nesa?"

"Iya. Ini lagi sama Nesa."

"Kalian baik-baik aja?"

"Alhamdulillah baik. Kita baru aja mau sarapan."

"Ohh ya udah, selamat sarapan kalian."

"Oke, Ma." Tutup Arlan.

Risma menarik nafas panjang. Perlahan rasa kesal pada Nesa sirna setelah mendengar suara Arlan yang tampak tengah bahagia di sana. Kalian.... Batin Risma.

Setelah sarapan, mereka keluar hotel sebentar untuk membeli ketupat sayur yang diinginkan Nesa sembari ke mini market.

Rencana mereka baru mau meninggalkan hotel saat jelang waktu check out nanti siang. Mereka memutuskan itu karena ingin berduaan. Saling mengenal satu sama lain sebagai suami istri.

"Ke mini market dulu apa beli ketupat dulu?"

"Ke mini market dulu." Jawab Nesa cepat.

"Boleh." Ujar Arlan.

Mereka pun menyebrang jalan. Maklum mini market yang hendak di tuju memang tidak jauh dari hotel. Hanya perlu menyebrang dan berjalan kaki sebentar.

"Beli itu doang?" Tanya Arlan saat melihat Nesa hanya mengambil pembalut.

"Iya." Angguk Nesa.

"Beli cemilan juga aja. Kita ngemil berdua sampai nanti siang." Timpal Arlan.

"Oke." Nesa pun segera mengambil makanan ringan kesukaannya juga kesukaan Arlan.

Tidak sulit untuk Nesa tahu apa saja makanan favorit Arlan. Mereka yang tumbuh bersama tentunya menyimpan memori tentang kebiasaan jajan bersama.

"Masih suka kan?" Tanya Nesa dengan alis terangkat. Arlan tergelak. Biji bunga matahari, Arlan hobi makan biji bunga matahari atau kuaci itu. Ia pun mengangguk.

Setelah selesai berbelanja, mereka lantas berjalan menuju ke penjual ketupat sayur yang Nesa maksud. Mereka memesan 2 porsi. Mereka yang memutuskan makan di tempat, segera menempati bangku yang kosong.

Selesai makan tiba-tiba ada seorang ibu paruh baya yang menyapa Nesa. Nesa sontak menoleh.

"Nesa?"

"Tante." Balas Nesa serba salah.

"Beli sarapan?"

"Iya."

"Sama siapa?" Tanyanya sembari menatap penuh selidik Arlan yang duduk tepat di samping Nesa. "Ini kakaknya?"

"Bukan, Tan." Nesa meringis. Sultan yang baru selesai parkir mobil, tahu ibunya tengah berbincang dengan Nesa segera menghampiri terlebih di sana ada Arlan. Jangan sampai Mama tahu kalau Nesa udah nikah, batinnya. Dahi Arlan mengerut halus. "Kenalin ini suaminya Nesa." Jujur Nesa.

Fix sultan membulatkan mata. Tidak menyangka Nesa akan memperkenalkan laki-laki itu sebagai suaminya di depan Weni. Padahal ia sudah wanti-wanti pada Nesa agar orangtuanya tidak perlu tahu status Nesa. Arlan mengangguk santun sedang ibu paruh baya itu mendelik ke arah Sultan yang baru menghampiri.

"Duluan." Pamit Nesa yang memang sudah selesai makan itu sembari menarik Arlan pergi.

Weni syok, sedang Sultan hanya membisu. Hal itu membuat Arlan bersorak. Ia bangga pada Nesa. Karena Nesa sudah mau mengakui dirinya sebagai suami di depan rivalnya. Arlan merangkul Nesa mesra.

Dewasa itu saat kita bisa menerima konsekuensi dari setiap keputusan yang kita ambil. Begitu pikir Nesa sembari menyelaraskan langkahnya dengan langkah Arlan.

"Nggak nyesel lepasin dia?" Tanya Arlan pelan saat mereka sampai di lobi dan tengah menunggu pintu lift terbuka.

"Lebih nyesel lepasin A Arlan." Jawab Nesa. Dahi Arlan mengernyit.

"Kenapa memangnya?"

"Berasa nyesel aja ngelepasin suami yang udah bucin dari pas aku masih SMP." Tutur Nesa asal.

"Kamu...." Arlan mengacak-acak rambut Nesa. Nesa terkekeh, sedang Arlan hanya mengulas senyum dalam hati ia setuju dengan penuturan Nesa. Bucin dari dulu.

Menikahi SepupuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang